Pengamat politik dari Network for South East Asian Studies (NSEAS), Muchtar Effendi Harahap menilai hasil survei yang dikeluarkan CSIS (Centre Strategic and International Studies) terkait opini publik tentang tingkat elektabilitas Capres untuk Pilpres 2019 dan kepuasan publik terhadap Presiden Joko Widodo lucu dan aneh.
Pasalnya, hasil yang dikeluarkan CSIS itu mengklaim elektabilitas Jokowi terus mengalami kenaikan cukup signifikan dari tahun ke tahun. Namun, di awal tahun kepemimpinannya malah terjadi penurunan angka elektabilitas hingga puluhan persen.
Selain itu, CSIS juga mengklaim, elektabilitas Jokowi pada 2015 hanya 36,1 persen, padahal pada saat memenangkan Pilpres 2014 itu Jokowi memperoleh suara di atas 50 persen.
"Tentu saja angka elektabilitas 36,1 persen ini menjadi unik dan aneh. Hanya setahun setelah kemenangan Pilpres 2014 di atas 50 persen, terjadi penurunan elektabilitas hingga sekitar 20 persen," kata Muchtar saat dihubungi wartawan di Jakarta, Rabu (13/09/2017).
Lebih menggemaskan lagi menurut dia, data CSIS yang mengklaim bahwa pada tahun 2016 elektabilitas Jokowi naik 5 Persen yakni 41,9 persen.
Hal tersebut tentu masih sangat jauh dari angka perolehan suara Jokowi di Pilpres 2014 lalu.
Kemudian untuk data tahun 2017, CSIS mengatakan bahwa angka elektabilitas Jokowi naik lagi yakni di kisaran 50,9 Persen.
Hal tersebut juga dinilainya lucu, karena tetap saja angka tersebut masih kalah selesih dari perolehan suara di Pilpres 2014.
"Unik dan aneh, CSIS mengklaim itu, ada kenaikan setiap tahun elektabilitas Jokowi tetapi masih di bawah perolehan suara Pilpres 2014," ungkapnya.
Riset fiktif?
Lantaran hasil yang dikeluarkan CSIS sangat lucu, Muchtar Effendi pun menilai hasil studi yang dikeluarkan oleh CSIS tersebut merupakan hasil yang mengada-ada.
"Apakah angka elektabilitas Jokowi versi CSIS ini faktual? Tim Studi NSEAS menilai, angka elektabilitas Jokowi versi CSIS terus menaik dari tahun ke tahun ini tidaklah faktual alias fiksi," tegasnya.
Selain itu, hasil survei yang dilakukannya CSIS juga tidak sesuai dengan hasil versi pemerintah. Pada Mei 2017 dalam Acara Rapimnas Golkar, Balikpapan Kalimantan Timur, Menko Maritim Luhut B. Panjaitan mengklaim elektabilitas Jokowi di atas 50 persen.
Hal ini menunjukkan belum ada penurunan angka elektabilitas Jokowi dibandingkan perolehan suara Pilpres 2014.
"Dapat dinilai, angka elektabilitas Jokowi versi Menko Maritim ini menunjukkan stabil, tidak ada kenaikan atau penurunan berarti ya," sindirnya.
Selain merujuk dari hasil survei Menkopolhukam, ia juga merujuk pada survei dari salah satu Litbang media massa yang pada April 2017 menunjukkan elektabilitas Jokowi hanya 41,6 persen dan jauh lebih rendah dibandingkan angka elektabilitas Jokowi versi Menko Maritim dan juga perolehan suara Jokowi di Pilpres 2014.
Hal tersebut membuktikan bahwa elektabilitas Jokowi mengalami penurunan puluhan persen.
"Juga menurut satu sumber, elektabilitas Jokowi pada 2017 lebih rendah lagi, yakni 34 persen. Terjadi penurunan drastis tingkat elektabilitas Jokowi dibandingkan versi Menko Maritim," terangnya.
Kinerja pemerintahan tak sejalan dengan Nawacita
Mochtar Effendi juga menilai hasil survei yang dikeluarkan CSIS tidak menggambarkan opini publik dan persepsi maayarakat, hal tersebut lantaran kinerja Jokowi dalam menakhodai pemerintah sangat buruk karena tidak mampu menjalankan janji-janji kampanyenya.
Selain itu, ia juga menyinggung perekonomian rakyat yang menunjukan keterpurukan perekonomian. Menurutnya ekonomi indonesia saat di nahkodai SBY-Boediono lebib baik daripada saat dikendalikan Jokowi. Hal tersebut didasarkan pada daya beli rakyat yang saat ini kian melemah dan banyaknya jumlah rakyat menganggur dan tambah miskin lantaran lapangan pekerjaan banyak diserobot warga asing.
Suara kritis bergaung meluas
Mochtar effendi mengatakan bahwa semakin lama Jokowi berkuasa sebagai presiden, semakin banyak dan meluas suara kritis dan kecaman publik atas kebijakan politik yang diambilnya. Hal tersebut menandakan bahwa hasil riset CSIS tersebut semakin bias dan tak wajar.
Ia mencontohkan, kecaman massa kepada presiden di antaranya yakni terkait penerbitan Perppu Ormas dan penggunaan kekuasaan administratif untuk mengendalikan suara kritis dan kecaman aktivis dan ulama Islam.
Dibandingkan tahun 2015, tahun 2017 ini sangat terlihat dan dapat ditemukan dengan mudah suara kritis dan kecaman tersebut di berbagai medsos, forum diskusi publik dan aksi demo massal di ibukota khususnya. Kondisi ini justru memiliki pengaruh terhadap penurunan elektabilitas Jokowi.
Menurut Muchtar, adalah tidak rasional dan tidak logis klaim CSIS bahwa elektabilitas Jokowi terus menaik dari tahun ke tahun sementara suara kritis dan kecaman terhadap Jokowi terbilang meningkat dan meluas di arena publik.
"Lalu, bagaimana kita memaknai rilis hasil survei opini publik CSIS ini? Yang paling tepat kita memposisikan rilis itu sebagai upaya CSIS mempromosikan dan mengkampanyekan ke publik agar elektabilitas Jokowi dapat meningkat untuk kepentingan Pilpres 2019 mendatang. Unik dan aneh memang," tutupnya.
No comments:
Post a Comment