Friday, August 4, 2017

Ekonomi Aneh Tapi Nyata

RMOL. Ekonomi Indonesia saat ini bisa dibilang aneh tapi nyata. Bagaimana tidak, pertumbuhan ekonomi mencapai lima persen tapi tidak mampu mendongkrak daya beli masyarakat yang justru menurun. Kok bisa ya.

Kondisi di luar logika ekonomi ini dirasakan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong. Secara logika, ketika realisasi investasi tumbuh seharusnya kemampuan daya beli masyarakat juga tumbuh. Tapi ini tidak. Lembong menyebut kondisi ini sebuah misteri.

"Ini harus ada penjelasannya, kok bisa investasi naik terus tapi daya beli malah turun, harusnya investasi naik penghasilan naik, sehingga permintaan naik, tapi ini misteri," kata Thomas di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (2/8).

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I 2017 berada di angka 5,01 persen atau lebih tinggi dibanding pertumbuhan kuartal I 2016 di kisaran 4,92 persen. Angka tersebut juga lebih tinggi dibanding pertumbuhan kuartal IV 2016 yang sebesar 4,94 persen. Bahkan, akumulasi realisasi investasi dalam enam bulan (semester I) 2017 adalah Rp 336,7 triliun atau lebih tinggi 12,9 persen dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya Rp 298,1 triliun.

Namun, terjadi kekhawatiran di industri ritel. Pertumbuhannya saat ini sedang melambat, hanya 3 persen atau lebih rendah dari kondisi normal yang sebesar 12-14 persen. Sedangkan inflasi per Juli 3,88 persen (year on year/yoy). "Berarti pertumbuhannya (ritel) di bawah inflasi, jadi netto inflasi malah bisa menciut," tegas Thomas.

Penurunan daya beli masyarakat ini seolah dikonfirmasi Bank Indonesia (BI). Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Dody Budi Waluyo menganalisa turunnya daya beli ini dapat terlihat pada masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah. Penyebabnya dimulai dari kebijakan di bidang subsidi listrik sejak awal tahun.

"Ada dampak kebijakan subsidi reform di listrik. Itu pengaruh sekali. Februari-Juni naik itu pengaruh ke daya beli," ujar Dody di Gedung BI, Jakarta, kemarin.

Selanjutnya, penurunan aktivitas oleh korporasi sehingga mempengaruhi lapangan kerja formal maupun informal. Dody mengatakan, adanya penurunan upah buruh dan Nilai Tukar Pertani (NTP).

"Kelompok menengah bawah terjadi consumption cutting, jadi dari sisi kemampuan untuk spending berkurang," imbuhnya.

Sementara, bagi kelompok menengah atas lebih memilih untuk menunda konsumsi. Hal itu terlihat dari kenaikan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada perbankan. "Mereka tunda konsumsi, mereka alihkan konsumsi ke kegiatan yang sifatnya simpanan. Data DPK itu naik terutama kelompok di atas Rp 1-2 miliar naik semua," terang Dody. Biasanya ini dikarenakan masih adanya ketidakpastian dari beberapa sisi, baik soal harga komoditas maupun ekonomi secara umum akibat pengaruh global. Dimungkinkan belanja kembali lancar pada semester II-2017.

Namun, Dody beranggapan masih terlalu dini jika saat ini terjadi penurunan daya beli. Terutama, jika berkaca di sektor ritel. Pasalnya, saat ini ada perubahan pola konsumsi terutama setelah berkembang pesatnya transaksi ekonomi digital.

"Ada faktor data-data transaksi secara daring (online) yang secara statistik tidak ter-cover. Kami sedang kaji dengan BPS. Kalau lihat kegiatan melalui online itu memotong rantai perdagangan, karena beberapa tahapan di tengah rantai hilang," pungkasnya.

Menko Perekonomian Darmin Nasution meragukan daya beli masyarakat kini menurun jika hanya menggunakan indikasi melemahnya pertumbuhan retail. Daya beli masyarakat tak hanya dapat dilihat secara temporal pada kurun waktu tertentu. Menurutnya, jika mengambil data pada Juni benar saja terjadi perlambatan ritel. Pasalnya, di bulan Juni itu Lebaran. Saat Lebaran, terjadi perlambatan kenaikan konsumsi karena orang habis-habisan berbelanja.

Sekadar informasi, sejumlah perusahaan ritel mengalami perlambatan ekonomi. Contohnya, PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) yang mengoperasikan Hypermart, mengalami rugi bersih di semester I-2017 sebesar Rp 189,83 miliar. Salah satu perusahaan induk ritel, PT Indoritel Makmur Internasional Tbk (DNET) memang di semester I-2017 mengalami penurunan laba bersih hingga 71,03 persen dari periode yang sama tahun lalu Rp 105,5 miliar menjadi Rp 30,5 miliar. Perusahaan ini memegang saham besar di 3 perusahaan ritel, yakni 40% saham PT Indomarco Prismatama (Indomaret), 31,5% saham PT Nippon Indosari Corporindo Tbk (ROTI), dan 35,84% saham PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST) pemegang waralaba KFC di Indonesia.

Peneliti di Insitute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus mengatakan, ekonomi saat ini aneh tapi nyata. Kondisi ini bisa terjadi karena pertumbuhan ekonomi lima persen tidak ditopang oleh pertumbuhan di sektor yang mampu menyerap banyak tenaga kerja.

"Artinya, ekonomi tumbuh tapi hanya beberapa sektor, memang tidak begitu memberikan efek terhadap peningkatan kesejahteraan, pengurangan tingkat kemiskinan, peningkatan lapangan kerja baru, dan lainnya," ujar Heri kepada Rakyat Merdeka.

Heri menilai, penurunan daya beli masyarakat ini merupakan dampak dari pencabutan subsidi pemerintah terhadap barang yang harganya bisa diatur pemerintah. Misalnya, listrik, gas, air minum dan lainnya. Nah, ketika subsidi dicabut, masyarakat terkaget-kaget. "Akibatnya, spending masyarakat untuk alokasi belanja kebutuhan barang sekunder dikurangi," katanya. ***

Let's block ads! (Why?)



No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...