
MEREBAKNYA kabar pencabutan tiga ribuan peraturan daerah (perda) bermasalah mengingatkan saya pada cerita seorang teman yang biasa dipanggil James, yang tergagap saat perjumpaan pertama dengan calon mertuanya. Ini terjadi 28 tahun silam saat kami sama-sama baru lulus Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Subang, Jawa Barat.
James, bukan nama sebenarnya. Nama panggilan itu diberikan teman-teman hanya karena saya dan dia sering tidur di masjid. Namun di luar teman sepergaulan, tidak banyak orang tahu jika panggilan James yang terkesan gaul tersebut adalah kependekan dari "jaga mesjid".
Dua pekan sejak lulus saya kembali ketemu James, yang tidak lama lagi akan menikah dengan seorang gadis anak guru sekolah dasar tidak jauh dari kampung saya. Meski sebagai guru honorer tidak menjamin masa depannya, James memutuskan untuk segera menikah demi menghindari fitnah dan karena merasa sudah jatuh hati pada gadis pujaannya.
James mengaku hal yang membuatnya tergagap bukan pertanyaan soal pekerjaan, atau jaminan apa yang membuatnya memutuskan untuk segera menikah. James tergagap karena sang calon mertua bertanya berapa kali James hatam membaca al-Qur'an. Untung saja selama jaga masjid James suka menyempatkan baca al-Qur'an, di luar jam yang dijadwalkan untuk belajar agama bersama-sama jamaah lain.
Cerita soal hatam al-Qur'an tak berhenti pada perjumpaan pertama James dan calon mertuanya. Sebelum walimah dilangsungkan, calon mempelai puteri diminta membacakan ayat-ayat suci al-qur'an, sebagai pertanda bahwa bukan hanya James yang sudah hatam al-Qur'an, namun juga calon pendampingnya. Rupanya, inilah alasan mengapa sang calon mertua bertanya kepada James soal hatam al-Qur'an. Seperti calon mertua mendidik puterinya belajar agama, dia pun berharap mendapat menantu yang memiliki pengetahuan agama yang baik.
Kebiasaan mempelai perempuan membaca al-Qur'an masih dipraktikan beberapa keluarga di sekitar kampung saya hingga kini. Meski tidak termasuk syarat dan rukun nikah, kebiasaan ini dipertahankan karena dimaknai sebagai praktik yang mengandung nilai yang masih fungsional, dan disepakati oleh kedua keluarga pengantin.
Warga kampung sadar, praktik ini tidak ditemui di semua tempat. Karena itu, bila ada gadis atau jejaka berjodoh dengan calon pasangannya dari luar daerah, kebiasaan ini akan dimusyawarahkan sebelum dipraktikan jelang walimah.
Cerita tentang James yang tersimpan 28 tahun silam tiba-tiba muncul begitu saja saat melihat running text sebuah televisi swasta yang mewartakan diantara tiga ribu perda yang dinilai bermasalah tersebut ada yang dibatalkan karena dinilai mengganggu kebhinekaan dan toleransi. Saya tidak tahu persis perda seperti apa yang dimaksud mengganggu kebhinekaan dan toleransi dimaksud. Jangan-jangan apa yang dialami James, dan praktik yang dilakoni calon istrinya dinilai mengganggu kebhinekaan dan toleransi?
Saya berharap perda yang dibatalkan karena dinilai mengganggu kebhinekaan dan toleransi tidak dimaksudkan untuk menyasar praktik bermasyarakat yang berlandaskan nilai budaya dan agama yang dianut masyarakat setempat. Hampir semua daerah memiliki praktik-praktik yang sudah terpola, yang dipelihara karena masih dinilai berguna, bukan hanya sebagai bentuk pewarisan nilai namun barometer dalam menentukan tindakan yang patut. Bahkan beberapa praktik memadukan nilai adat, agama, ekonomi secara utuh, sehingga sulit dikelompokkan apakah praktik tersebut pranata adat atau agama.
Bila di kalangan keluarga Minang populer pepatah "adat bersanding syara, syara bersanding kitabullah", di Sunda pun dikenal pandangan yang mencerminkan preferensi hidup yang merujuk pada nilai agama dan budaya yang relevan, seperti tersirat dalam ungkapan "agama jeung dari gama". Di Bali, hubungan baik dengan alam diyakini sebagai salah satu sumber kebahagiaan, seperti tercermin di dalam ajaran "Tri Hita Karana" (tiga sumber penyebab kebahagiaan, yakni menjaga hubungan baik dengan Tuhan (Parhyangan), manusia (pawongan), dan alam semesta (palemahan).
Praktik-praktik seperti dilukiskan di atas adalah kebiasaan hidup yang bersifat isoterik, yakni praktik yang makna dan pengertiannya hanya bisa diungkap dari dan oleh mereka yang mengalaminya. Karena itu, untuk menilai apakah praktik dimaksud produktif atau tidak harus dipahami dari perspektif pendukungnya. Contoh dalam menilai eksistensi desa dinas (desa yang terdapat dalam struktur pemerintahan), dan desa adat (desa pakraman, yang dipimpin bendesa adat) di Bali harus mempertimbangkan apa makna kedua desa ini dan apa pengertiannya menurut masyarakat Bali. Parameter yang ditetapkan pemerintah pusat tidak serta merta bisa digunakan untuk menghakimi realitas kehidupan sosial khas yang berlaku di sebuah masyarakat sebagai hal yang mengganggu kebhinekaan.
Pencabutan perda bermasalah tersebut akan menjadi kabar baik bila difokuskan pada pembatalan perda yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, mempersulit usaha, atau menyuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme di daerah. Namun akan terasa ganjil, bahkan mengancam kebhinekaan dan toleransi bila pembatalan perda yang dinilai bermasalah tersebut hanya karena apa yang diatur perda tersebut sesuatu yang asing dari pola hidup Jakarta namun merupakan sesuatu yang genuine dan fungsional bagi komunitas tertentu.
Karena itu, tidak ada langkah yang paling berharga kecuali memahami dengan sungguh-sungguh materi dan prosedur penetapan perda sebelum dikategorikan sebagai perda aneh-aneh atau mengancam kebhinekaan dan toleransi. Selain itu, meski komunikasi bukan panasea, menjelaskan materi perda yang dihapus kepada masyarakat secara terang-benderang dan masuk akal akan mencegah bias yang tak berguna. Dua langkah ini amat penting agar tindakan pemerintah untuk menjadikan bangsa Indonesia lebih besar dan memiliki daya saing malah membuat bangsa ini limbung karena tercerabut dari nilai-nilai yang menjadi identitasnya.***
No comments:
Post a Comment