Sunday, July 22, 2018

Dzikir Akbar Kejaksaan Peraih Rekor Muri Dinilai Bermuatan Politis

TIMESINDONESIA, SURABAYADzikir dan istiqosah akbar serentak dalam rangka HUT Adhyaksa ke-58, Jumat (20/7/2018) yang digelar kejaksaaan negeri seluruh Indonesia mendapat sorotan tajam. Pasalnya, selain giat keagamaan ini masuk dalam Museum Rekor Indonesia (Muri), juga dinilai bermuatan politis.

Guru Besar bidang Ilmu Fiqih (Hukum Islam) di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, MA, menilai hal itu sebagai kegiatan bermuatan politis. Bukan soal siapa penyelenggaranya (Korps Adhyaksa), bukan pula soal kontennya yang tidak baik, tapi lebih pada muatannya.

Dzikir-Akbar.jpg

"Sulit untuk tidak dikatakan (dzikir akbar kejaksaan) ada motif (politik)," kata Ahmad Zahro yang juga salah satu Imam Besar Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya ini, Sabtu (21/7/2018). 

Zahro menyebut, dalam setiap kegiatan keagamaan tidak boleh ada 'embel-embel' tertentu, seperti beribadah demi mendapatkan rekor Muri.

"Aneh saja, dzikir kok di Muri kan, apalagi pemilik Muri non-muslim. Lebih aneh lagi banyak kyai yang mau hadir," tegas Zahro.

Acara tersebut diikuti oleh seluruh aparatur sipil negara (ASN) kejaksaan RI di seluruh Indonesia. Tidak ketinggalan para ulama, habaib dari berbagai daerah, pimpinan Ormas, dan Majelis Dzikir Hubbul Wathon (MDHW).

Dzikir akbar bertema "Doa dan Asa Kejaksaan untuk Indonesia, Membangun Sinergi Menjaga Negeri" itu memperoleh piagam Muri yang diterima langsung Jaksa Agung RI, H.M. Prasetyo. Memang sulit untuk dipungkiri, Kejaksaan Agung disebut kepentingan politis karena HM Prasetyo adalah mantan jaksa yang kemudian menjadi politisi Partai NasDem. 

Sehingga upaya penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung selalu dinilai hanya menjadi alat politik semata. Lebih parah lagi, lanjut Zahro, ketika dijadikan alat untuk memenuhi kepentingan bisnis antar genk. Dengan rapor merahnya Kejaksaan Agung, masyarakat juga mempertanyakan kinerja Jaksa Agung HM. Prasetyo yang sangat partisan dan tak punya visi reformasi hukum.

Sementara itu Direktur Institute for Javanese Islam Research, Akhol Firdaus, M.Pd, M.Ag, menilai dzikir serentak kejaksaan di seluruh Indonesia sangat mudah ditafsirkan berdimensi politik karena saat ini memang tahun politik. "Tentu saja, dimensi politik tidak selalu dikaitkan dengan politik elektoral, tetapi lebih merupakan politik pewacanaan, terkait dengan agenda-agenda strategis dalam mengarusutamakan ide-ide kontra radikalisme," kata Akhol. 

Ditambahkan Akhol, Islam sebenarnya tidak berbeda dengan agama lain yang selalu menjadi instrumen politik. 

"Islam tidak berbeda dengan agama lain yang bisa saja digunakan sebagai instrumen politik bagi segenap kalangan yang cenderung tidak memiliki platform politik yang jelas," terang ahli filsafat Islam ini.  

Meski demikian dalam konteks kontra radikalisme, Akhol menilai, para elite politik seharusnya dapat mengembalikan narasi moderasi menjadi strategi pewacanaan yang baik karena mayoritas ulama juga menegaskan bahwa Islam itu sendiri bersifat moderat. 

"Kita mengenal model negara yang bukan negara sekuler juga buka negara agama, dan Indonesia itu negara Pancasila yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Itulah kesepakatan kita sebagai bangsa dan akan selalu seperti itu. Konsekuensi itulah yang terus mewarnai Indonesia kontemporer sebagai negara yang dibangun di atas kesepakatan," ucapnya.(*)

Let's block ads! (Why?)



No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...