Perlu kebijakan tepat agar depresiasi rupiah tidak berimbas pada inflasi dan suku bunga.
JAKARTA - Pemerintah meminta Bank Indonesia (BI) melakukan berbagai langkah pengendalian untuk stabilisasi rupiah yang terus melemah hingga mencapai level terendah dalam dua tahun terakhir. Pada perdagangan antarbank di Jakarta, Selasa (6/3) sore, kurs rupiah melemah 13 poin menjadi 13.769 rupiah dibanding posisi hari sebelumnya 13.756 rupiah per dollar AS.
Sementara itu, pada periode sama, dalam kurs tengah BI mencatat nilai tukar rupiah terkikis 10 poin ke posisi 13.750 dibandingkan posisi sebelumnya di 13.740 rupiah per dollar AS. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, mengharapkan BI bisa mengambil berbagai langkah yang diperlukan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
"Kita tentu berharap BI mengambil langkah-langkah untuk mengembalikan rupiah," ujar Darmin, di Jakarta, Selasa. Darmin menjelaskan pelemahan rupiah yang berlangsung sejak pertengahan Januari 2018 itu akibat tekanan ekstenal karena pelaku pasar menyikapi perkembangan ekonomi di Amerika Serikat (AS).
Untuk itu, tambah Darmin, upaya stabilisasi yang dilakukan bank sentral melalui cadangan devisa dibutuhkan agar volatilitas rupiah tidak terlalu besar. "Memang perlu pengendalian sekarang ini," tutur dia. Menanggapi kinerja rupiah itu, Bloomberg, kemarin, menyebutkan mata uang RI yang sempat mencatat kinerja terbaik dalam 20 tahun terakhir kini terpuruk.
Rupiah dinilai sebagai salah satu mata uang di Asia yang sangat terpengaruh oleh kepemilikan asing pada pasar obligasi. Akibatnya, ketika ada sentimen eksternal, maka rupiah menjadi salah satu mata uang di kawasan yang langsung dilepas investor asing. Dalam sebulan terakhir, nilai tukar rupiah merosot 1,6 persen sehingga menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia dan ketiga terburuk di antara 24 mata uang emerging markets di seluruh dunia.
Kurs rupiah terpangkas beriringan dengan aksi jual investor asing pada pasar saham dan obligasi. Pada pekan lalu, modal asing ditarik dari pasar obligasi Indonesia sebesar 1,02 miliar dollar AS. Ini merupakan arus modal keluar (capital outflow) terbesar sepekan sejak Novembar 2016. Pada periode sama, aksi jual investor mancanegara di pasar ekuitas mencapai 186 juta dollar AS.
Mata uang negara kawasan Asia tertekan oleh penguatan dollar AS, setelah Gubernur Bank Sentral AS, Jerome Powell, menyampaikan testimoni dengan nada agresif dan optimistis di hadapan Kongres AS. Pernyataan Powell mengenai kuatnya pertumbuhan ekonomi AS memicu spekulasi bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan, Fed Fund Rate, sebanyak empat kali pada tahun ini.
Tingkatkan Kewaspadaan
Ekonom Universitas Indonesia, Telisa A Falianty, mengaku merasa aneh. Di satu sisi, Indonesia baru saja mendapat peringkat nomor dua lokasi terbaik dunia untuk investasi, namun faktanya nilai tukar rupiah justru merosot. "Padahal kemarin, rupiah di-sounding nilai tukarnya sangat terjaga.
Banyak yang menduga kenaikan Fed Fund Rate bisa diantisipasi, tapi nilai tukar justru anjlok," kata dia. Oleh karena itu, Telisa mengatakan merosotnya rupiah harus dijadikan perhatian utama pemerintah untuk segera mengambil kebijakan yang tepat agar pelemahan rupiah tidak terus berlanjut dan berpengaruh ke hal lain, seperti inflasi, suku bunga, dan impor jadi lebih mahal.
Menurut Telisa, waktu toleransi intervensi BI paling tidak selama satu bulan ke depan. Sebelum kebijakan dikeluarkan pun harus melihat nilai tukar dari negara lain. Apabila hanya rupiah yang melemah maka perlu meningkatkan kewaspadaan. "Kenapa dibandingkan dengan Asia kenapa kita paling lemah banget.
Padahal, secara fundamental baru dirilis Indonesia menjadi negara tujuan investasi terbaik di dunia. Ini agak aneh ya," tukas dia. Telisa menilai pelemahan rupiah akan terus berlangsung dan tidak bisa diprediksi sampai kapan. Sebab, tekanan depresiasi dipicu serangkaian kebijakan AS yang mengarah pada ketidakpastian global.
ahm/SB/Ant/WP
No comments:
Post a Comment