Oleh: Maria Rosari
Beberapa waktu lalu Mahkamah Konstitusi (MK) memutus tiga perkara permohonan uji materi atas pasal 79 ayat (3) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) terkait dengan hak angket DPR kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Tiga perkara tersebut terdaftar dengan nomor: 36/PUU-XV/2017, 37/PUU-XV/2017, dan 40/PUU-XV/2017.
Perkara nomor 36 dimohonkan oleh gabungan mahasiswa dan dosen fakultas hukum yang menamakan diri mereka Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK). Sementara itu perkara nomor 37 diajukan oleh Horas AM Naiborhu selaku Direktur Eksekutif Lira Institute, dan perkara nomor 40 diakukan oleh sejumlah pegawai KPK.
Dalam putusan itu, lima dari sembilan Hakim Konstitusi menilai bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah bagian dari ranah eksekutif, mengingat tugas dan fungsi KPK yang berada dalam domain eksekutif.
Secara tugas dan fungsi terdapat tiga lembaga negara yang berada di ranah eksekutif, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK, sebagaimana dijelaskan Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya melalu Hakim Konstitusi Manahan Sitompul.
Lima hakim konstitusi tersebut berpendapat bahwa dasar pembentukan KPK ialah karena belum optimalnya lembaga negara, dalam hal ini adalah Kepolisian dan Kejaksaan yang mengalami krisis kepercayaan publik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.Sementara itu, Kepolisian dan Kejaksaan dalam undang-undang masuk ke dalam ranah eksekutif.
Oleh sebab itu, KPK kemudian dibentuk dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.
KPK dinyatakan Mahkamah sebagai lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Namun sebagai lembaga penunjang tugas dan fungsi KPK tetap masuk ke dalam ranah eksekutif.
Posisi KPK yang berada di ranah eksekutif, tidak berarti membuat KPK tidak independen dan terbebas dari pengaruh mana pun.Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006 pada halaman 269 dinyatakan, independensi dan kebebasan KPK dari pengaruh kekuasaan mana pun adalah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kata Manahan.
Dengan demikian putusan Mahkamah menyatakan bahwa DPR mempunyai hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada KPK sama seperti KPK yang memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab kepada publik.
Dalam putusan tersebut, terdapat empat hakim konstitusi lainnya, yaitu Maria Farida Indrati, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, dan Suhartoyo yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion).
Putusan Aneh
Terhadap putusan MK terkait hak angket itu, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar mengatakan bahwa putusan tersebut aneh karena dinilai bersifat kontradiktif.
Dalam putusan tersebut disebutkan bahwa KPK merupakan lembaga negara yang mirip dengan Kejaksaan dan Kepolisian karena memiliki fungsi-fungsi eksekutif.Tapi di sisi lain dikatakan KPK tidak boleh mendapatkan angket untuk penyidikan, penuntutan, dan penyelidikan, sehingga hal ini tentu menjadi sangat kontradiktif, jelas Zainal."Padahal pintu masuknya karena permasalahan itu, tapi pada saat yang sama itulah tidak boleh diangket," tambah Zainal.
Selain itu , Zainal menilai putusan Mahkamah atas ketentuan hak angket tersebut seolah-olah membatalkan beberapa putusan Mahkamah sebelumnya yang menyatakan bahwa KPK adalah lembaga independen yang memiliki kekuasaan yudikatif.
Empat putusan Mahkamah tersebut bernomor; 19/PUU-IV/2006 tertanggal 19 Desember 2006, 19/PUU-V/2007 tertanggal 13 November 2007, 37-39/PUU-VIII/2010 tertanggal 15 Oktober 2010, dan 5/PUUIX/2011 tertanggal 20 Juni 2011."Tapi kemudian putusan ini dia bilang KPK adalah eksekutif, lantas apa dasar perubahan itu, ini seperti MK kemarin bilang KPK itu tahu kok hari ini KPK tempe," kata Zainal.
Lebih lanjut Zainal menilai bahwa logika hukum dari pertimbangan kelima hakim konstitusi atas putusan tersebut sulit untuk dia terima.Menurut dia, justru pendapat empat hakim dalam "dissenting opinion" yang sesungguhnya merupakan putusan MK, mengingat logika hukumnya yang dapat dibenarkan.
Bukan Justifikasi
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Udayana Jimny Usfunan menjelaskan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat dijadikan pembenaran terhadap rekomendasi hak angket kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Jimny menjelaskan putusan MK sudah memberikan pemahaman dan menekankan persoalan KPK masuk ke dalam ranah eksekutif, tapi bukan berarti semua persoalan yang ditangani KPK masuk ke dalam ranah eksekutif.
KPK sebagai badan dikatakan Jimny, meskipun KPK ditempatkan dalam badan eksekutif, KPK tetap menjalankan fungsi legislatif, yudisial, dan administrasi."Karena logika DPR bisa jadi ke arah sana, di mana KPK masuk ke ranah eksekutif berarti semua kebijakan KPK bisa diangketkan, itu tentu sangat keliru," ujar Jimny.
Berkaca dari kasus yang diduga mendasari pemberian hak angket DPR kepada KPK, DPR seperti ingin masuk lebih jauh seperti membuka rekaman Miryam. Namun hal itu tentu tidak dapat diperbolehkan, mengingat rekaman pemeriksaan bukan termasuk dalam fungsi administratif.
Penyelidikan, penyidikan, dan penggugatan memang merupakan tugas dan fungsi eksekutif namun sudah masuk ke dalam lingkup yudisial di peradilan sehingga tidak bisa diangketkan.
Yang perlu dijadikan rambu-rambu oleh DPR dalam menggunakan hak angket itu hanya dalam hal di mana KPK menjalankan fungsi eksekutif.
"Maka bila DPR mau meributkan persoalan bagaimana pengangkatan PNS di KPK itu silahkan karena itu ranah eksekutif, tetapi kalau sudah masuk di wilayah persoalan peradilan itu sudah tidak boleh," tegas Jimny.
Lebih lanjut Jimny mengakui bahwa masyarakat banyak yang menyayangkan putusan ini, tetapi sekali lagi ketika sudah diputus oleh MK, maka ini menjadi hukum yang harus dihormati. (Ant.)
No comments:
Post a Comment