Seniman replika Aep Suharto (52) memperlihatkan jari buatannya yang bisa ditekuk, untuk keperluan pengganti jari yang hilang (Foto-foto: Agus Bebeng/bandungkiwari.com)
BANDUNG, bandungkiwari– Beberapa potongan organ manusia, berupa kaki, tangan, dan jari bergeletakan di sudut ruangan. Sebagian masih menyisakan luka menganga dengan warna darah yang pekat menghitam berkabar peristiwa yang luar biasa menyakitkan. Sementara kaki luka berdarah penderita diabetes mematung kaku dalam ruang sempit yang berantakan.
Eits, jangan berpikir yang aneh-aneh dulu. Jangan buru-buru menuduh Aep Suharto (52), sang pemilik rumah, orang yang sadis karena memutilasi korban-korbannya. Aep pun bukan orang yang mengalami gangguan jiwa. Semua organ tubuh ini hanya replika dari bahan rubber sintetis alias karet.
Aep adalah seniman replika yang membuat beragam organ manusia untuk kebutuhan alat praktik kedokteran maupun kebutuhan protesa sebagai pengganti organ tubuh yang hilang. Produk yang diciptakan Aep sebenarnya bukan organ manusia semata. Beragam makanan yang sangat menggiurkan tersaji pula di rumahnya. Hati-hati, jangan terkecoh karena semua makanan itu palsu.
Bagi Aep, membuat karya yang punya kemiripan bentuk, keutuhan detail dan kesempurnaan warna merupakan kerja seni yang luar biasa. Maka tidak mengherankan ketika bandungkiwari, menemuinya Jumat (16/2/2018) di bengkel kerja yang diberi nama Foids, menemukan barang-barang yang unik dan menawarkan sensasi imaji.
Aep memang spesialisasi pembuatan alat peraga atau alat bantu protesa kaki dan tangan. Pilihan pada tangan dan kaki karena dari sekian banyak barang yang dijual di pasaran merupakan barang jadi yang terkadang tidak sesuai dengan karakter orang yang membutuhkannya.
Didi, misalnya, salah seorang teman Aep yang hampir 12 tahun menyembunyikan jari tangannya yang diamputasi karena malu menjadi pusat perhatian orang. Dia pernah beli jari tangan di toko tapi ternyata tidak sesuai. "Karena jari tangan palsunya kecil seperti perempuan dan warna kulit pun berbeda," kata Aep ketika ditemui Bandung Kiwari di studio Foids.
Lalu Aep membuatkan jari khusus untuk Didi yang disesuaikan dengan karakter tangan dan warna kulitnya. Hasilnya, Didi kembali percaya diri menjalani aktifitas kesehariannya. "Bahkan sampai mau salat lagi," kata Aep sambil menjelaskan perihal Didi yang tidak mau salat berjamaah karena malu dengan tangannya yang difabel.
Kerja dengan konsep seni dan keikhlasan itulah yang melandasi Aep dalam membuat produk alat bantu peraga maupun alat protesa. Baginya kebahagiaan penyandang difabel yang berlipat ganda kepercayaan diri akibat menggunakan barang buatannya merupakan hal yang tidak dibayar oleh apapun. Bahkan acapkali Aep harus berhadapan dengan masyarakat yang membutuhkan replika, tetapi terbatas secara finansial.
Pria yang pernah mengecap pendidikan di Fakultas Seni Rupa dan Disain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB) ini memperlihatkan sebuah jari palsu yang dipesan oleh seorang ibu dari Medan yang kebetulan punya waktu terbatas di Bandung dan tidak berlebih secara keuangan. Aep pun membuatkan jari pesanan dengan menambahkan satu cadangan untuk ibu itu di luar pemesanan. (Agus Bebeng)
No comments:
Post a Comment