Monday, February 19, 2018

Berdialog dengan Musik Syahdu Dialog Dini Hari

Jakarta, CNN Indonesia -- Dadang SH Pranoto sudah punya band sendiri. Demikian pula Ian Joshua Stevenson dan Mark Liepmann. Dadang menggawangi Navicula, band yang namanya sudah dikenal, sementara dua lainnya merupakan penggawa Kaimsasikun.

Namun itu tak membuat mereka terperangkap dalam kotak musikalitas yang itu-itu saja.

Buktinya, pada 2008 mereka sepakat merentangkan sayap lebih lebar dan membuat satu band baru. Dialog Dini Hari, namanya. Musiknya benar-benar berbeda. Kalau Navicula lebih ke psychedelic grunge core dan Kaimsasikun menempel ke brit rock, Dialog Dini Hari memperdengarkan leburan blues, folk dan ballad.


Liriknya pun nyeleneh. Benar-benar seperti berdialog yang lepas dan santai. Sarat isi, namun tak disampaikan secara memaksa. Alih-alih, lagu-lagunya justru terdengar puitis. Bak alunan musik liris yang menemani dini hari.

Petikan gitar akustik menambah romantika lagu-lagunya.

Dadang yang menjadi vokalis sekaligus gitaris, tak menyangka band yang dibentuknya secara iseng itu bakal bertahan lama. Kesibukan demi kesibukan mentas ia lakoni. Kelamaan, para personalnya 'protol' [bahasa Jawa: berguguran].

[Gambas:Youtube]

"Sampai suatu hari banyak tawaran manggung dan kami susah karena selalu sibuk. Mau enggak mau ini harus diseriusi. Tapi Ian enggak bisa karena memang dari awal kami tidak ada komitmen," cerita Dadang kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

Ia akhirnya menggandeng personel lain. Deny Surya didapuk sebagai penggebuk drum. Menyusul, Brozio Orah menggantikan Ian di posisi bass. Tak butuh waktu lama bagi musisi asal Bali itu untuk menemukan formula bermusik bersama.

Apalagi, kebetulan Dadang sudah kenal Zio sejak SMA.

Dialog Dini Hari saat tampil di Bali Blues Festival 2017.Dialog Dini Hari saat tampil di Bali Blues Festival 2017. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Mereka memutuskan bermusik dengan sederhana. Jika menyelami Tentang Rumahku atau Hiduplah Hari Ini, terdengar jelas bagaimana kata-kata puitis Dadang dibalut notasi sederhana, namun menyentuh. Pendengarnya pun dibuai alunan yang santai, namun berisi.

Itu konsisten dengan musik folk yang memang diusung Dialog Dini Hari.

"Secara garis besar, yang kami tahu musik folk itu berbicara hal-hal sosial, bisa apa pun, bisa kehidupan atau masalah yang ada," tutur Dadang. Kadang ia bicara lingkungan, seperti di Bumiku Buruk Rupa, yang menurutnya wajar karena itu masalah yang dekat dengan kita.


Beruntungnya, ia melanjutkan, Dialog Dini Hari punya media menyuarakan itu.

"Tidak ada maksud bahwa kita band yang sarat dengan lingkungan. Semua orang bisa ngomong lingkungan, bukan hanya aktivis atau musisi. Itu hal sederhana yang kami buat, orang sering ngomong, tapi mungkin kami punya band sebagai media untuk berbicara," katanya.

Seperti band-nya yang dibentuk tak sengaja, nama Dialog Dini Hari pun didapat begitu saja.

"Beberapa kali kalau bikin sketsa suka bikin nama aneh. Kadang ada nama merek saya tulis, pokoknya yang aneh. Suatu hari ini sudah ada di sketsa dan mencolok mata, akhirnya langsung saya bikin," ia menerangkan.

[Gambas:Youtube]

Hingga kini, proyek yang tak disengaja itu menghasilkan empat album. Bersama Ian dan Mark, Dadang menelurkan Beranda Taman Hati (2009). Setahun setelahnya, sudah bersama anggota baru, band itu membuat EP self-titled, Dialog Dini Hari. EP lain dirilis 2012, berjudul Lengkung Langit.

Terbaru, album Tentang Rumahku dirilis pada 2014.

Saksikan Dialog Dini Hari berdialog bersama CNNIndonesia.com dan musiknya, dalam Music at Newsroom pada Rabu (21/2) pukul 14.00 hingga 15.00 WIB. (rsa)

Let's block ads! (Why?)



No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...