Sunday, April 2, 2017

CERPEN MUSA ISMAIL Terbang dalam Keterasingan

RIBUAN mata manusia bagai mata pisau di bandara itu. Pandangan aneh dan tajam laksana hendak menikam-nikam keyakinan manusia lain. Di mata itu, masih saja tersimpan kedengkian yang merajalela. Sepertinya, kedengkian itu mereka simpan dengan sengaja untuk membunuh keyakinan manusia lain. Karena setiap mata manusia memandang aneh dan tajam itulah, manusia lain itu menjadi terasing. Selalu termarginalkan! Tatapan aneh itu juga selalu menyimpan kebencian sehingga mata mereka semakin tajam. Mata itu laksana hendak menikam-nikam kebenaran yang ada dan sempurna pada keterasingan manusia lain yang menjadi terasing itu.

Suara perempuan manja bagian informasi di bandara tak mampu menghadang pisau di mata orang-orang itu. Suara langkah kaki dan gaya calon penumpang lain pun menjadi seperti terluka dan timpang. Anehnya lagi, mata mereka juga menyudutkan beberapa manusia yang santai di ruang tunggu bandara. Tampaknya, mereka yang menjadi sasaran mata pisau itu satu keluarga besar. Mereka baru tiba beberapa menit yang lalu dan disambut gerimis hujan yang berkah. Namun, di ruang tunggu ini, mereka ditikam oleh mata pisau-mata pisau sehingga seperti tersudut dan terasing.

"Kita menjadi sasaran," tiba-tiba perempuan berjilbab dan bercadar hitam bicara.

"Aku juga merasakannya. Tenang saja. Sejak awal kita memang terasing. Suatu saat, kita juga akan pulang dalam keterasingan," lelaki berjanggut sekepal tangan dan berbaju koko, mungkin suami perempuan berjilbab dan bercadar hitam, menanggapi dengan sangat santai.

"Itu artinya mereka perhatian pada kita, 'kan?" Mereka acuh pada kita walaupun dalam keanehannya," timpal perempuan cantik berjilbab panjang sambil melemparkan senyuman ikhlas.

"Pandangan penuh perhatian bukan aneh dan tajam begitu. Mata yang perhatian selalu menciptakan kenyamanan. Ini seperti kita berbuat kesalahan. Coba lihat petugas bandara tadi. Kita dianggap seperti teroris saja. Berapa lama kita ditahan untuk diperiksa tadi? Sementara itu, orang lain diperiksa lebih-kurang saja," perempuan berjilbab dan bercadar hitam itu sangat kesal tampaknya.

Kekecewaan perempuan berjilbab dan bercadar hitam itu bermula ketika di pintu pemeriksaan keimigrasian. Ini juga dirasakan oleh anggota keluarganya yang lain. Mereka diperiksa habis-habisan. Mata petugas bandara itu seperti lebih tajam daripada x-ray. Tidak puas lolos dari x-ray, petugas itu memeriksa bagasinya secara manual. Darah keluarga besar ini tentu saja mendidih juga karena dicurigai seperti teroris. Mereka bukan takut karena mereka tidak berbuat salah. Untung saja mulut mereka selalu basah dengan ayat-ayat Allah Taala. Sambil sedikit jengkel memerhatikan tingkah petugas, hampir semua mulut anggota keluarga yang dipandang terasing itu, beristighfar. Bagi mereka semuanya dari Allah Taala dan hanya Allah Taala juga yang memberikan pertolongan melalui kedekatan lahir-batin.

Tentu saja mata-mata tajam calon penumpang dari berbagai maskapai penerbangan ketika itu juga bagai menguliti mereka. Mulai dari pakaian hingga sikap dan perilaku keluarga terasing itu mereka singkap dengan pandangan sinis. Sepertinya mereka sangat kejam dengan menghunuskan dua bilah pisau dari matanya yang lambut dan syahdu itu.

"Aneh. Semuanya tertutup," celetuk dari mulut perempuan setengah baya yang seksi. Pelan sekali, nyaris tidak terdengar. Di bandara, perempuan seksi sangat banyak, dari anak-anak, para dara, ibu-ibu, bahkan sampai yang sudah bergelar nenek pun, ada yang berpakaian seksi. Ada perempuan yang cuma bercelana pendek, berbaju ketat, tipis, dan tidak berjilbab. Kalau pun berjilbab, mereka masih saja mempertontonkan gelombang-gelombang syahwat di tubuhnya. Ketika itu, tubuh mereka bagaikan kapas-kapas beterbangan ditiup angin.
Perhiasan-perhiasan yang mereka kenakan sama sekali tidak berarti, selain cuma menjadi pandangan-pandangan musuh kita yang paling nyata. Mereka bagaikan kera yang diberikan bunga.

"Pak, maaf, mengapa kami diperiksa seperti pesalah?" Kami 'kan hanya penumpang biasa," lelaki bersorban dan berjubah itu merasa tak sedap hati. Dari wajahnya yang bersih itu, suaranya terdengar sangat lembut.

Petugas itu diam dan terus saja memeriksa.

"Kami harus teliti dengan orang-orang yang dicurigai. Penampilan Bapak sekeluarga mengundang kecurigaan kami. Jadi, kami harus ekstra hati-hati," bersuara juga petugas itu setelah diam cukup lama sambil membuka kunci tas dan menyoroti isinya dengan mata melebihi sinar x-ray.

"Suuzon itu berdosa, Pak. Kami orang baik-baik. Jangan perlakukan kami seperti pesalah," lelaki berjanggut dan berbaju koko menimpali dengan sopan dan sedikit senyum.
"Bapak melawab petugas?" petugas itu mulai naik pitam.

"Bukan begitu. Bapak pikir mereka yang tidak berpenampilan seperti kami ini orang baik-baik dan bisa lolos dengan mudah dari pemeriksaan? Bagasi mereka mengapa tidak diperiksa seperti kami?"

"Bapak tenang saja. Sebentar lagi juga selesai jika tidak ada barang yang dicurigai," muka petugas itu laksana jeruk purut.

"Sudahlah, Bang. Bersabar itu lebih baik," perempuan berjilbab labuh menenangkan suaminya.

"Mereka sepertinya dengan sengaja ingin memarginalkan keyakinan kita. Mereka ingin merobek-robek kebenaran," suaminya kemudian beristighfar tanpa henti. "Lebih baik," imbuhnya.

Informasi keberangkatan sudah disampaikan. Seperti biasa, suara informan di bandara selalu gurih di telinga kita. Kami berbaris teratur dengan yang lain. Tetap saja mata-mata pisau di wajah mereka itu menyayat kami sekeluarga. Entah siapa sebenarnya yang aneh dan seperti keledai? Kelengkapan penumpang seperti tiket, boarding pas, dan airportave diperiksa lagi satu per satu. Kali ini, petugas perempuan dan petugas lelaki yang memeriksa kelengkapan itu pula ditikam mata-mata pisau dari calon penumpang. Petugas perempuan itu berpenampilan seperti kami. Kami hanya senyum sambil menghadiahkan Assalamualaikum. Alhamdulillah, mereka juga senyum sambil membalas Waalaikumsalam.

Ketika melewati pintu keluar menuju pesawat terbang yang parkir, kami bagai memetik kemerdekaan. Plong! Tidak ada lagi pemeriksaan. Perempuan berjilbab dan bercadar hitam serta suaminya yang berjanggut dan perempuan yang berjilbab labuh serta suaminya yang berjubah itu berlenggang gembira. Namun anehnya, mereka masih terasing. Tatapan mata pisau masih saja menusuk-nusuk dari setiap sudut bandara. Calon penumpang yang sama berangkat dengan mereka pun masih menatap dengan jelingan asing.

Let's block ads! (Why?)



No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...