Wednesday, August 1, 2018

Neno Warisman dan Era Kebangkitan Militansi Kaum Ibu

Militansi kaum Ibu tak main-main, teruji oleh waktu.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Cut Putri Cory SSos, Ibu Penggerak Opini

"Gerakan #2019GantiPresiden tidak melanggar hukum dan konstitusi. Melarang kegiatan ini adalah cara yang aneh dalam demokrasi. Hak menyatakan pendapat dijamin dalam UUD," kata Neno Warisman kepada Republika saat tertahan di Bandara Hang Nadim, Batam, Ahad (29/7/2018).

Aktivis perempuan dan salah satu penggagas gerakan #2019GantiPresiden ini, tak bisa ke luar dari bandara saat sejumlah massa dikabarkan datang ke bandara untuk menolak kedatangannya. Ini merupakan hal aneh saat segelintir orang yang mengaku paling cinta NKRI kemudian menodai apa yang diadopsinya dalam penerapan sistem demokrasi, yaitu kebebasan berpendapat.

Bukan pertama kali, persekusi juga pernah menimpa Tengku Zulkarnain, Fahri Hamzah, Ustaz Abdul Somad dan Ustaz Felix Siauw. Yang membedakan adalah kali ini yang dipersekusi adalah seorang Ibu Muslimah, tertahan berjam-jam di bandara sehingga membuat banyak pihak bereaksi keras atas apa yang dialami Neno Warisman. Bahkan dalam video yang beredar, seseorang melemparkan tong sampah sebelum terjadi keributan. Bisa dibayangkan, begitu menyakitkan terasa karena hal itu tak sepatutnya terjadi kepada Kaum Ibu.

Sejatinya apa yang diserukan Bunda Neno bukan seruannya sendiri, karena isu panas ini memang sudah lama bergelinding di tengah-tengah umat. Ide revolusi lahir dari pemikiran kritis kaum ibu yang gerah dengan kesempitan hidup tersebab kebijakan zalim penguasa. Agaknya tak perlu pendidikan terlalu tinggi untuk mendeteksi siapa dan di posisi mana kelompok pemberangus dan yang berusaha diberangus berdiri.

Tampak terjadi polarisasi, ini memang niscaya di akhir zaman, tapi tak disangka para sekularis radikal begitu geram dengan gerakan revolusioner yang memandang jernih persoalan bangsa. Kubu kritis dan kubu penentangnya tampak bertarung tak berimbang, karena kaum pemikir yang melek terhadap persoalan bangsa dihujani hujatan, ancaman, penolakan, bahkan pemboikotan oleh kubu lawan. Sementara mereka yang memiliki ketinggian ilmu dan adab konsisten dengan pergerakan yang anti-kekerasan, apalagi menghadapi emak-emak.

Namun sangat menyakitkan ketika yang mengalami pemboikotan itu adalah seorang wanita. Tak seharusnya ini terjadi. Karena militansi itu bukan lahir dari arogansi kekuasaan, justru dari ketidakberdayaan dan ketidakadilan yang marak. Bayangkan saja, kaum ibu adalah yang paling terdampak dari kebijakan zalim menaikkan harga BBM, listrik, bahan pokok, telur, dan lain-lain. 

Kezaliman yang mewabah, kehidupan yang semakin sempit, dan segala reaksi  yang membungkam nalar kritis seperti persekusi Ibu Militan berbanding lurus dengan kebijakan zalim dan menyusahkan rakyat. Jika harus ada yang dipersekusi, tentu seharusnya adalah yang menjadikan bangsa ini bahkan tak kuasa menahan inflasi tersebab ayam dan telur ayam.

Alhasil kita patut bertanya, apakah kebebasan berpendapat itu benar adanya? Atau dia hanya omong kosong bagi mereka yang kritis, namun bertenaga super bagi mereka yang segaris dengan penguasa zalim? Demokrasi memang bukan rumah ideal bagi perempuan, karena militansinya yang fitrah takkan pernah dianggap potensi ketika itu bertentangan dengan penguasa. Meskipun sistem ini memiliki jargon kebebasan, sejatinya kebebasan yang ada hanya untuk penguasa dan siapapun yang segaris dengannya. Sedangkan yang bertentangan, apalagi berupaya mencerdaskan masyarakat dengan aktivitas pemikiran dan opininya, suaranya dibungkam dengan persekusi.

Padahal Bunda Neno tak membawa senjata kecuali lisannya yang tajam kepada rezim, bukan AK47, apalagi granat yang siap dilemparledakkan kepada siapapun yang bertentangan dengan mereka. Malah saat diajak berdiskusi enam mata, dia memilih untuk melakukan diskusi terbuka agar semua mata melihat dan akal pun dapat memahami di mana dia dan lawannya berdiri. Kubu pemberangus atau yang berusaha diberangus karena ketajaman nalarnya melihat kehancuran bangsa.

Hal ini meyakinkan kita bahwa inilah masanya kebangkitan militansi kaum Ibu. Serasa dan sependeritaan menjadikan mata terbuka dan tergerak untuk mengubah kondisi tak ideal menjadi kenyamanan dan kesejahteraan. Militansi itu juga lahir dari fitrah untuk memunculkan sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban, apa sebenarnya solusi terbaik untuk bangsa ini?

Tak ada yang meledak gedungnya karena suara kritis para Ibu Militan, karena suara mereka tak mengandung bahan peledak. Namun suara itu mampu menghancurkan eksistensi kezaliman dan inilah yang menjadi ketakutan para zalim itu. Sehingga menjadi penting untuk menghadang bahkan mematikan gerak para Muslimah Militan yang bergerak menyampaikan kebenaran di tengah-tengah umat, agar umat tertutupi dari segala bentuk pemikiran yang jernih dan membuat mereka paham akan hakikat fakta yang ada.

Militansi kaum Ibu tak main-main, teruji oleh waktu. Banyak mata menyaksikan bagaimana kaum Ibu mengarahkan pergerakannya dengan kesadaran Islam politik yang mumpuni. Jangan menjadi pengecut dengan bertarung secara curang dengan kaum Ibu. Namun jika tak bernyali, memang tak melihat hal lain kecuali persekusi!

Let's block ads! (Why?)



No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...