
BALI EXPRESS, DENPASAR - Tahukah Anda sebuah makam yang terletak tepat di sebelah Pura Kepuh Kembar di areal Setra Badung? Makam itu merupakan makam salah satu Putri Raja Pemecutan yang bernama Gusti Ayu Made Rai. Seperti apa kisahnya hingga ada sebatang pohon yang tumbuh dari jenazahnya?
Makam Gusti Ayu Made Rai yang juga disebut Raden Ayu Siti Khotijah, terlihat dikunjungi beberapa peziarah. Makam ini cukup unik, karena satu – satunya makam muslim yang ada di tengah – tengah pemakaman untuk umat Hindu yang terletak di Desa Pemecutan, Kecamatan Denpasar Barat.
Makam ini selalu ramai dikunjungi peziarah. Beberapa peziarah terlihat hilir mudik bergiliran memasuki makam putri kesayangan Raja Pemecutan tersebut. Setelah memasuki gapura berwarna hijau toska, akan terlihat sebuah pohon Kepuh yang dibalut kain poleng tumbuh dari makam.
Ketika Bali Express (Jawa Pos Group) datang berkunjung kemarin, beberapa pangayah terlihat tengah sibuk menyapu dan membersihkan areal makam.
"Makam ini sebagai simbol akulturasi kepercayaan Hindu dengan Muslim, " papar pemangku yang bertugas menjaga pemakaman, Jero Mangku I Made Puger.
Lantas, benarkah pohon Kepuh tersebut tumbuh dari rambut jenazah putri Pemecutan?
"Beliau ini merupakan salah satu putri dari Raja Pemecutan yang telah beragama Islam. Karena sebuah tragedi akhirnya beliau dimakamkan di sini di antara pemakan umat Hindu," ujarnya.
Jero Mangku Made Puger menjelaskan, konon makam tersebut adalah makam Gusti Ayu Made Rai yang juga disebut Raden Ayu Siti Khotijah. Ia merupakan salah satu putri dari Raja Pemecutan yang sangat cantik. Namun, ketika beranjak dewasa, ia terkena penyakit kuning yang menyebabkan tubuhnya terlihat menguning dan sangat lemah. Berbagai metode pengobatan sudah dilakukan. Namun, tak satupun berhasil menyembuhkannya.
Lantaran merasa putus asa, Raja Pemecutan akhirnya melaksanakan meditasi agar mendapatkan petunjuk untuk kesehatan putrinya. Dalam meditasi tersebut, Raja Pemecutan diberi petunjuk agar melaksanakan sebuah sayembara hingga ke luar Pulau Bali
Sayembara tersebut berbunyi "Siapa saja yang dapat menyembuhkan penyakit putri saya yang maparab (bernama) Gusti Ayu Made Rai, jika ia seorang wanita akan dijadikan keluarga kerajaan. Namun, jika laki- laki akan diperbolehkan menyuntingnya," ujar
Jero Mangku I Made Puger, mengutip soal isi sayembara yang diucapkan Raja Pemecatan.
Dikatakannya, Sabda Pandita Ratu tersebut kemudian menyebar ke seluruh jagat dan sampai ke daerah Jawa, yang didengar oleh seorang Syeh (guru sepiritual ) dari Yogyakarta. Syeh ini mempunyai seorang murid kesayangan yang bernama Pangeran Cakraningrat IV dari Bangkalan Madura. Diutuslah Pangeran Cakraningrat IV untuk menghadap Raja Pemecutan di Puri Badung. Dengan diiringi 40 pengawal, Pangeran Cakraningrat akhirnya berangkat menuju Puri Badung untuk mengikuti sayembara. Dalam sayembara ini banyak pangeran atau putra raja yang ambil bagian untuk menyembuhkan penyakit Putri Gusti Ayu. Putra-putra raja tersebut ada dari tanah Jawa, seperti Metaum Pura, Gegelang, ada dari Tanah Raja Banten, dan tidak ketinggalan putra-putra raja dari Bali.
Semua mengadu kawisesan untuk mengobati penyakit sang putri. Segala kesaktian dalam pengobatan dikerahkan, mulai dari ilmu penangkal cetik, desti, ilmu teluh tranjana, ilmu santet, ilmu guna-guna, ilmu bebai hingga ilmu sihir. Semua kawisesan dan kesaktian yang dimiliki para pangeran atau putra raja yang datang, ternyata tidak sanggup mengobati penyakit yang diderita sang putri. Hal itu justru membuat penyakit sang putri semakin parah, sehingga Raja Pemecutan betul-betul sedih dan panik. Ketika tiba giliran Pangeran Cakraningrat yang menunjukan kebolehannya,
Sang Pangeran minta supaya Gusti Ayu ditempatkan di sebuah Balai Pasamuan Agung atau tempat paruman para pembesar kerajaan.
Pangeran Cakraningrat mulai mengobati dengan merapal mantra-mantra suci. Konon telapak tangannya memancarkan cahaya putih, kemudian berbentuk bulatan cahaya yang diarahkan langsung ke tubuh sang putri. Ajaib, dengan metode pengobatan itu, ternyata cukup berhasil. Dan, sang putri berangsur angsur pulih.
"Bagi Raja Pemecutan, hal itu sangat mengejutkan. Pasalnya, ia sudah hampir putus asa. Berbagai cara sudah dicoba tak berhasil, banyak pangeran dan ahli tenung juga sudah mencoba, tak juga membuahkan hasil. Namun, justru Pangeran Cakraningrat yang berhasil menyembuhkan," ujar
Jero Mangku I Made Puger.
Atas kesembuhan putrinya, Raja Pemecutan akhirnya memenuhi janjinya. Ia menikahkan putrinya dengan pemuda yang sanggup menyembuhkan putrinya.
Persiapan pernikahan kedua insan berdarah ningrat ini pun digelar meriah di lingkungan Puri Pamecutan. Meskipun Pangeran Cakraningrat IV adalah seorang muslim, Raja tidak mempermasalahkannya dan tetap memenuhi janjinya. Setelah resmi menikah, Pangeran Cakraningrat lantas memboyong istrinya Gusti Made Ayu Rai yang telah berganti nama menjadi Raden Ayu Siti Khotijah pulang ke kerajaannya di Bangkalan, Madura.
Dijelaskannya, setelah sekian lama di Madura, Gusti Ayu merindukan kampung halamannya di Pemecutan, dan meminta izin kepada suaminya untuk menghadap sang ayah di Bali. Cakraningrat IV mengizinkan Gusti Ayu untuk pulang ke Bali, beserta 40 orang pegiring dan pengawal. Cakraningrat IV memberikan bekal berupa guci, keris, dan sebuah pusaka berbentuk tusuk konde yang diselipkan di rambut sang putri.
Sesampainya di Kerajaan Pamecutan, Gusti Ayu disambut dengan riang gembira. Namun, kala itu tidak ada yang mengetahui bahwa sang putri telah memeluk agama Islam. Gusti Ayu Pamecutan ditempatkan di Taman Istana Monang -Maning Denpasar dengan para dayang-dayangnya.
Suatu hari ketika Puri Pemecutan tengah menggelar upacara Maligia atau Nyekah ( upacara Atma Wedana) yang dilanjutkan dengan Ngalinggihang (Menyetanakan) Betara Hyang di Pemerajan (tempat suci keluarga) Puri Pemecutan, Gusti Ayu Pemecutan berkunjung ke puri tempat kelahirannya.
Saat ia berkunjung, ternyata tepat sandikala (menjelang petang) di puri, Gusti Ayu alias Raden Ayu Siti Khotijah sembahyang (ibadah salat maghrib) di Merajan Puri dengan menggunakan Mukena (Krudung). Ketika itu salah seorang patih di puri melihat hal itu. Para patih dan pengawal kerajaan tidak menyadari bahwa Gusti Ayu telah memeluk Islam dan sedang melakukan sholat.
"Zaman itu ada sebuah kepercayaan, jika seseorang mengenakan pakaian atau jubah serba putih, itu pertanda sedang ngalekas atau mendalami Ilmu Pangleakan. Hal tersebut dianggap aneh dan dikatakan sebagai penganut aliran Ilmu Hitam.
"Orang puri ketika itu tidak ada yang tahu jika sang putri telah memeluk agama Islam. Jadi dia dianggap sedang ngalekas atau ngereh," paparnya.
Akibat ketidaktahuan pengawal istana, 'keanehan' yang disaksikan di halaman istana membuat pengawal dan patih kerajaan menjadi geram dan melaporkan hal tersebut kepada raja. Mendengar laporan patih tersebut, Sang Raja murka.
Ki Patih kemudian diperintahkan untuk membunuh Gusti Ayu. Selanjutnya Gusti Ayu dibawa ke kuburan areal pemakaman yang luasnya 9 Ha. Sesampai di depan Pura Kepuh Kembar, Raden Ayu yang pasrah berpesan agar membunuhnya menggunakan tusuk konde yang diikat dengan daun sirih yang dililit dengan benang tiga warna, merah, putih dan hitam (Tri Datu).
"Konde itu harus ditusukkan ke arah dadanya. Ia juga berpesan jika ia sudah mati, maka dari badannya akan mengeluarkan asap. Apabila asap tersebut berbau busuk, maka Gusti Ayu meminta tubuhnya dikubur sembarangan. Tetapi, apabila mengeluarkan bau harum, maka ia meminta makamnya dijadikan sebuah tempat suci yang disebut Keramat," ungkapnya.
Konon, asap yang keluar dari tubuh sang putri ketika meninggal berbau sangat wangi. Maka dimakamkanlah jasadnya di sebelah Pura Kepuh Kembar. Uniknya dua hari setelah dimakamkan, sebuah pohon tumbuh dari bagian kepala makamnya. Setelah diselidiki pohon itu ternyata tumbuh dari rambut sang putri. "Pohon itu sempat ditumbangkan dua kali karena dianggap mengganggu, tapi tetap tumbuh lagi. Setelah ditanyakan ke orang pintar, ternyata memang pohon itu tumbuh dari tubuh beliau yang hingga kini tumbuh besar ," ungkapnya. Lantas, kenapa dimakamkan tepat di sebelah Pura Kepuh Kembar? " Itulah pesan terakhir Gusti Ayu sebelum meninggal karena ia membuktikan bahwa ia bukanlah seorang penganut Ilmu Pangleakan , seperti yang dituduhkan ," ungkapnya.
(bx/tya/yes/JPR)
No comments:
Post a Comment