
ARUS mudik adalah istilah yang aneh. Arus berarti gerak air atau aliran sedangkan mudik berarti bergerak menuju udik. Adapun udik berarti hulu sungai atau sungai bagian atas. Sulit saya membayangkan sungai yang arusnya menuju ke hulu, bukan ke hilir.
Ambil contoh Citarum. Udiknya adalah Cisanti, di selatan dataran tinggi Bandung. Muaranya adalah pantai utara, di sekitar dataran rendah Karawang dan Bekasi. Mustahil arus sungai mengalir dari, misalnya, Muara Bendera ke Cisanti.
Itulah, kiranya, bukti bahwa bahasa tidak selalu masuk akal-juga tidak selalu harus dibikin masuk akal, terlebih jika ungkapan yang kita pakai sudah lumrah dalam arti terbiasa dipakai oleh banyak orang dari masa ke masa. Yang sudah enak, buat apa dipermak?
Ketika polisi lalu lintas, pegawai jawatan perhubungan, dan reporter televisi memakai frasa "arus mudik", kita tahu bahwa mereka tidak sedang membicarakan sungai. Mereka sedang membicarakan migrasi besar-besaran penduduk kota ke berbagai desa, kampung asal mereka, dalam liburan Lebaran.
Banyak orang rela mati buat perjalanan setahun sekali ini. Besarannya, saya kira, tidak ada bandingannya. Geraknya yang begitu dahsyat diibaratkan dengan arus sungai. Adapun desa, kampung, atau tempat asal, ditamsilkan dengan udik atau hulu sungai. Itulah arus ke udik.
Arus kota
Istilah yang tak kalah uniknya, yang juga ramai dipakai di penghujung Ramadan, adalah "arus balik". Keunikannya terasa manakala kita, lagi-lagi, mengingat arti harfiahnya.
Balik berarti kembali, bisa juga pulang. Jika desa dianggap udik dan kota dianggap hilir, jika kampung dimaknai sebagai tempat asal dan kota dimaknai sebagai tempat beredar, mestinya ungkapan "arus balik" mengacu kepada gerak dari kota ke desa, bukan sebaliknya.
Nyatanya, memang tidak demikian. Ungkapan "arus balik" dipakai buat melukiskan kembalinya para pemudik ke kota di akhir liburan. Dengan kata lain, kota pada dasarnya dimaknai sebagai tempat menetap sedangkan kampung hanya dijadikan destinasi tahunan. Kota jadi titik tolak.
Makna lain, yang tersendiri, dari frase "arus balik" kita dapatkan dari novel Pramoedya Ananta Toer. Dengan latar Nusantara abad ke-16, Arus Balik (1995) bercerita tentang berbaliknya pengaruh peradaban setelah kerajaan-kerajaan ekspansif di Nusantara tak lagi jaya.
Semula, Nusantara menebarkan pengaruh ke dunia luas, kemudian kepulauan ini diterpa oleh gelombang pengaruh dari dunia luas. Arus peradaban yang tadinya mengalir dari selatan ke utara, lantas berbalik dari utara ke selatan.
"Sekarang makin lama makin sedikit kapal-kapal Jawa belayar ke utara, ke Atas Angin, ke Campa, ataupun ke Tiongkok. Arus kapal dari selatan semakin tipis. Sebaliknya arus dari utara semakin deras, membawa barang-barang baru, pikiran-pikiran baru, agama baru. Juga ke Tuban," tulis Pramoedya.
Di luar novel, di darat, laut, dan udara, "arus balik" yang kita ungkapkan hari ini pada dasarnya mengacu kepada arus kota.
Kota menebarkan pengaruh ke mana-mana, ke kaki-kaki gunung, ke pelosok-pelosok hutan, juga ke dalam dirinya sendiri. Kotalah, kiranya, yang hilir-mudik.
Metafora sungai
Dengan "arus mudik" dan "arus balik", tentu saja, kita berurusan dengan kiasan. Bisakah Anda bicara tanpa kiasan? Mustahil.
Ada hal yang membuat saya gembira, tapi juga prihatin, setiap kali memikirkan kedua kiasan tersebut. Keduanya selalu mengingatkan diri saya kepada sungai. Pada saat yang sama keduanya selalu mengingatkan diri saya bahwa penutur bahasa Indonesia sudah begitu lama mengabaikan sungai.
Kiranya pernah ada masanya kita berpaling ke sungai. Rumah-rumah menghadap ke sungai. Manusia dan barang bergerak mengarungi sungai.
Dalam biografi Kuantar ke Gerbang (1981) karya Kang Atun (alm. Ramadhan K.H.), bahkan ada adegan lelaki mengirim surat cinta dalam cangkang buah kawista yang dihanyutkan ke sungai buat perempuan di hilir.
Hidup berubah. Sungai seakan tak lagi bertuah. Habis minyak, hutan mangrovedibuang. Pabrik-pabrik tekstil menggelontorkan tinta ke Citarum. Ikan-ikan diserbu oleh sampah rumah tangga. Rezim sungai yang dilancarkan oleh Presiden Jokowi, antara lain dengan mengerahkan begitu banyak kolonel ke Citarum, terdengar seperti program yang muskil.
Terbayang betapa kerennya jika mudik Lebaran benar-benar tertuju ke hulu sungai. Lalu di situ kita semua bermaaf-maafan dengan sumber-sumber air. Pastilah hal itu akan terlihat sebagai perbuatan yang aneh, tapi perlu.***
No comments:
Post a Comment