BLENCONG
Lelaki dari Balik Impian
Oleh Saroni Asikin
Mimpi itu datang berulang-ulang: rembulan terbongkah dan dari bongkahannya seorang pemuda muncul, berjalan pelan, dan meraih tangannya. Selalu dengan tergeragap Pujawati terbangun. Tubuhnya basah oleh keringat dingin. Dia tak mengenal pemuda itu. Ah, dia memang tak pernah mengenal seorang pun pemuda.
Hanya resi-resi tua yang menyambangi rumahnya di tepi hutan Argabelah. Bilapun ada orang muda mampir, itu pemburu yang meminta air atau penganan. Itu pun bukan dia yang melayani mereka, melainkan Bagaspati, ayahnya.
Bisakah seorang gadis yang tak pernah mengenal seorang pun pemuda bisa mengimpikannya? Pujawati mengingat-ingat cara menakwil impian yang pernah diajarkan ayahnya.
Ada titiyoni atau orang terimpiimpi dari yang dilakukan sebelum tidur; gandayoni, bisa hanya titiyoni tapi bisa pula sebuah petunjuk; puspatajem adalah impian yang jadi petunjuk, semacam wangsit. ''Terimpi-impi? Tidak,'' ujar Pujawati di dalam hati.
''Aku tak pernah berjumpa seorang pemuda pun. Petunjuk? Aku tak pernah membayangkan wajah seorang pemuda. Mengenal salah seorang pun, tidak. Apakah puspatajem?'' Dia mengingat-ingat saat mimpi itu berlangsung.
Pujawati mendesah saat ingat mimpi itu selalu datang jelang jago kluruk kapisan, saat biasanya mimpi itu adalah puspatajem. Pujawati ingin mengabaikan itu.
Dia ingin meyakinkan dirinya bahwa mimpi hanyalah bunga tidur. Tapi tidak, wajah pemuda itu selalu membayanginya pada hampir semua waktunya. Dia ingin bercerita kepada ayahnya, tapi dia belum berani.
Maka, dia hanya bisa berkidung Asmaradahana. Bagaspati merasakan nada aneh ketika mendengar Asmaradahana dari putrinya.
''Darmastutisiwi, ya Putri Darmastuti yang cantik, mengapa kidung Asmaradahana- mu seperti terselimut kegelisahan? Katakan terus-terang, Duhita-ku. Kalau boleh kuterka, dari nada kidungmu sepertinya kau tengah gandrung kapirangu pada seseorang.
Salahkah Ayah?" Pujawati tersipu. Dia sendiri belum bisa memahami apakah kegelisahannya membayangkan pemuda dalam mimpinya itu tanda dirinya tengah diamuk asmara.
Kasmaran pada pemuda yang tidak dia kenal sama sekali? Hening beberapa saat. Hanya napas berat Pujawati yang terdengar pada malam sepi itu. ''Katakan, Nak.
Tak ada kedukaan yang menyesakkan kalbuku selain mengetahui lara batin yang kautanggung.'' ''Ayah,'' akhirnya Pujawati berbicara. ''Aku bertemu seorang pemuda yang wajahnya seolah-olah menyemburatkan cahaya rembulan.
Pemuda itu datang dalam mimpiku, berulang-ulang, selama tiga malam. Bisakah seseorang tertikam asmara hanya karena sebuah impian?'' Bagaspati tersenyum.
''Cinta bisa datang lewat jalan apa saja, bahkan jalanjalan yang kita anggap mustahil.'' ''Aku belum yakin.''
''Kita memang sering meragukan perasaan kita sendiri.
Tapi apakah kau bisa menyangkal bahwa dirimu terdera kegelisahan ketika mengingatnya? Kau bahkan berusaha mengusir kegelisahan itu dengan kidung-kidung Asmaradahana- mu. Semakin kau berusaha mengusirnya, semakin kuat kegelisahan itu menderamu.
Rasa cinta bisa membuat seorang selalu berada dalam kegelisahan.'' ''Apakah seperti itu?'' ''Ayahmu pernah merasakannya. Kali pertama berjumpa dengan Darmastuti, ibumu itu, Ayah selalu didera kegelisahan yang aneh.'' Hening sejenak.
''Percayalah, Pujawati, kedatangannya lewat mimpimu itulah cara kalian akan bertemu. Ayah sangat memercayai hal itu. Maka, jangan abaikan sebuah impian, apalagi bila impian itu datang berulangulang. Ayah akan mencari cara untuk menemukan pemuda itu.'' Ketika ayahnya pergi, Pujawati kembali didera kegelisahan dan keraguraguan.
Bagaimana ayahnya bisa menemukan pemuda yang hanya kulihat di dalam impian? Bagaimana dia mengenalinya? Satu-satunya harapan adalah dia sangat memercayai ayahnya; dia memercayai cinta ayahnya kepada dirinya.
***
TIGA hari setelah percakapan itu, Bagaspati membawa Narasoma kepada Pujawati. Gadis itu seperti mati kata. Tatapannya nanar dan nyaris tak memercayai penglihatannya sendiri. Pemuda tampan yang berdiri di hadapannya itu benar-benar sosok yang datang berulangan dalam mimpinya.
Ayahnya telah benar-benar membuktikan janjinya. Pujawati begitu gembira. Tapi kegembiraan itu harus diikuti kabar kesedihan.
''Narasoma ini akan menjadi suamimu, Nak. Tapi dia tak suka padaku. Sebagai putra mahkota Mandaraka, dia tak ingin memiliki mertua buruk rupa seperti aku. Dia menginginkan kematianku. Aku sudah berjanji untuk mengabulkan permintaannya.
Jangan tangisi aku, Nak. Aku tahu, Narasoma bakal menjadi suamimu yang sangat setia. Bahkan saat dia menjadi raja pun, hanya kau satu-satunya perempuan buatnya. Itu sebabnya Ayah menyanggupi permintaannya.''
Pujawati memandang muka ayahnya. Dia baru menyadari bahwa muka sang ayah memang buruk sekali, mirip gambaran para raksasa dalam dongeng-dongeng. Tapi ketika memandang muka buruk itu, air mata kesedihannya bercucuran. (44)
Catatan:
Jago kluruk sapisan: sekitar pukul 03.00
Duhita: (basa Kawi) anak perempuan
Narasoma yang setelah jadi raja bernama Salya hingga kematiannya di Padang Kuru dalam Perang Barata tak pernah memiliki selir selain seorang istri bernama Setyawati (nama Pujawati setelah jadi istri Salya)
Berita Terkait
No comments:
Post a Comment