Indonesia punya puluhan pelawak kawakan yang memiliki keahlian luar biasa dalam mengocok perut para penggemarnya. Selain yang kawakan, di Indonesia juga ada ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan pemuda yang aktif naik panggung untuk open mic.
Sama seperti pelawak-pelawak kawakan, mereka juga naik panggung untuk mengocok perut para penontonnya. Situasi seperti ini agaknya menjadi bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat menggandrungi lelucon.
Selain di panggung dan dunia hiburan, kecintaan masyarakat atas lelucon ini juga terlihat di berbagai elemen kehidupan. Politik dan hukum di Indonesia adalah satu dari sekian banyak aspek yang kerap menunjukkan kebolehan para pemainnya dalam mengocok perut rakyat.
Bedanya, jika pelawak atau stand up commedian ditertawakan karena lucu secara literal, pelawak-pelawak di dunia politik dan hukum ini lebih sering terlihat lucu karena tingkah mereka yang aneh-aneh.
Tak hanya pelawak di dunia hukum dan politik saja yang lucu. Masyarakat yang kadang ikut ambil bagian, sebatas komentator dunia maya atau di warung-warung kopi juga kerap tertular penyakit lucu yang mengarah ke miris ini.
Mari kita bahas sebuah contoh kejadian lucu yang berjudul balada tiang listrik dengan bintang utama pak Ketua DPR RI. Ah, ini sudah basi…
Kita bahas soal balada Mahkamah Konstitusi pendukung perzinaan saja. Sepertinya lebih sedikit yang perhatian soal ini. Kisah balada MK pendukung perzinaan ini mencuat setelah mereka menolak ermohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP).
Dalam permohonan tersebut, pemohon meminta MK memperjelas rumusan delik kesusilaan yang diatur dalam ketiga pasal tersebut. Intinya soal perzinaan sejenis yang seharusnya pelakunya dikriminalisasi.
Lima hakim berpendapat, substansi permohonan dimaksud sudah menyangkut perumusan delik atau tindak pidana baru yang mengubah secara mendasar baik subjek yang dapat dipidana, perbuatan yang dapat dipidana, sifat melawan hukum perbuatan tersebut, maupun sanksi/ancaman pidananya. Jadi, permohonan tersebut ditolak MK. Tak berselang lama, lembaga negara ini langsung dihujani hujatan. Mereka dituduh melindungi para pezina, oleh karenanya mereka pun layak dianggap sebagai pendosa.
Belakangan, saya kira akan ada lembaga lain yang bakal kecipratan label pendosa atau kafir atau semacamnya. Lembaga tersebut adalah Bawaslu.
Kenapa demikian? Karena baru-baru ini, mereka menyatakan akan akan merampungkan materi dakwah terkait penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada). Materi itu berisikan wawasan pencegahan, sosialisasi, dan pengawasan terhadap praktik politik uang dan politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam pilkada.
Bawaslu menyatakan, upaya strategis tersebut berawal dari masukan berbagai tokoh yang khawatir dengan maraknya kampanye SARA menjelang pilkada. Bawaslu kemudian menginisiasi pertemuan pemuka agama untuk mendiskusikan persoalan tersebut. Bawaslu juga akan membuat materi ceramah untuk mendukung pelaksanaan pilkada yang terbebas dari politik uang dan politisasi isu SARA.
Penyusunan materi khutbah itu melibatkan tokoh semua agama. Mereka menyampaikan pendapat terkait pentingnya memilih pemimpin yang jujur dan adil. Antara lain, politik uang dalam semua agama dilarang.
Bawaslu juga meminta para pemuka agama untuk menghindari kampanye hitam yang berkaitan dengan SARA.
Tak butuh waktu lama, langkah Bawaslu ini langsung mendapatkan respons keras di jejaring sosial dan media abal-abal. Sejumlah judul yang memojokkan lembaga ini mulai menghiasi laman-laman menyerupai kantor berita di dunia maya.
Misalnya, 'Bawaslu Urus Pemilu Saja Jangan Urus Khotbah, Nanti Kualat'. Judul macam ini saya rasa hanya permulaan sahaja. Tunggu saja episode selanjutnya, pasti bakal keluar pernyataan atau judul-judul lain yang tak kalah lucunya.(topan pramukti)
Komentar
komentar

No comments:
Post a Comment