RMOL. Penolakan pembahasan dan disahkannya pasal penghinaan terhadap presiden yang tengah dibahas dalam Panitia Kerja (Panja) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) DPR terus berlanjut. Tidak hanya dari kalangan internal DPR, penolakan juga datang dari kalangan aktivis.
Presidium Persatuan Pergerakan, Andrianto menegaskan pihaknya menolak keras pasal tersebut dimasukkan dalam KUHP. Dia mengaku khawatir bahwa penggunaan pasal karet itu bakalan kembali dijadikan sebagai sarana untuk menjaring para aktivis yang kritis terhadap pemerintah."Kami mengetuk hati dan jiwa yang visioner. Janganlah membuat peraturan hukum perundang-undangan hanya demi kepentingan sesaat. Terlalu mahal reformasi dan demokrasi ini tercipta," katanya saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (9/2).
Dia menjelaskan bahwa pasal ini sebenarnya diadopsi penguasa orde baru dari aturan hukum negara barat, dalam hal ini Belanda yang pernah menjajah Indonesia. Dimana pada awalnya Belanda menerapkannya di negara India.
"Para pejuang kemerdekaan (India) Gandi, Nehru, Jinah merasakan pasal ini.
Aslinya berbunyi barang siapa yang menghina ratu maka akan dikenakan penjara. Belanda mengadopsinya secara serta merta. Banyak pejuang kemerdekaan Indonesia ikut rasakan pasal ini," bebernya.
Karenanya para aktivis India maupun dunia menilai pasal Hatzaai Artikelen warisan kolonial itu sebagai atau pasal karet. Namun anehnya kata di Orba malah mengadopsi pasal itu ke dalam KUHP.
"Saat Orba sedang di puncak kuasa inilah pasal hatzaai artikelen (134, 136, 137, 154, 155, 160 KUHP). Tidak terhitung kalangan oposan terhadap Orba yang merasakan pasal pasal karet ini," jelasnya.
Namun, lanjut Andrianto, seiring penguasa Orba tumbang. Pasal Penghinaan Presiden pun ikut-ikutan menghilang. Bahkan bisa dibilang dibuang jauh-jauh oleh Presiden Habibie, Abdurahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri.
"Pas era SBY sekitar 2006 an sontak mengenai dedengkot aktivis Eggi Sudjana yang bilang SBY menerima mobil mewah dari konglomerat. Nah publik ramai. Eggi pun diseret ke pengadilan Jakpus dengan pasal hatzai artikelen ini," urainya.
Saat itu, lanjut Andrianto, Eggi melawan dengan menggugat uji materi pasal itu ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK melalui putusan 013-022/PUU-IV/2006 mengabulkan gugatan Eggi dengan menghapus pasal pasal Hatzai Artikelen.
"Otomatis Eggi pun bebas," imbuhnya.
Setelah itu, lanjut Andrianto, Presiden RI pun sama dengan warga negara Indonesia lainnya di mata hukum. Untuk itu, jika merasa dirugikan, presiden harus melaporkan kasus itu ke pihak kepolisian.
"Clear and clean kan Presiden bukan sosok yang tidak tersentuh dan sebagai warga biasa yang bisa lakukan prosedur biasa bila merasa kehormatannya diusik. Nah ajib bila DPR saat ini tiggal finalisasi RKHUP ternyata pasal penghinaan Presiden dimasukan dalam RKUHP," tegasnya.
Adapun bunyi pasal mengenai penghinaan terhadap Presiden yakni Pasal 263 ayat (1) RKUHP menyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Bunyi pasal tersebut sangat lentur sebagaimana pasal karet yg tiada beda dengan bunyi Pasal 134 KUHP. Sehingga aneh jika di era reformasi ini rezim hari ini ingin menghidupkan kembali pasal tersebut. Dan lebih aneh lagi upaya tersebut di saat yang kuasanya dari parpol yang banyak aktivisnya korban Orba.
"Tidak sedikit kolega saya yang dulu sama sama melawan rezim orba sampe dibui pula. Sungguh kekuasaan sudah membuta mata hati batin. Kekuasaan itu gula yg melenakan dan setiap orang akan berkorban untuk itu by Voltaire," pungkasnya menyesalkan. [rus]
No comments:
Post a Comment