
Lewat media komunikasi yang makin canggih dewasa ini, kita merasa tak ada lagi jarak dengan kerabat dan handai taulan yang tinggal jauh. Surat atau telegram telah memungkinkan dua orang yang berjauhan dapat berhubungan tanpa perlu bertatap muka.
Sampai datanglah media baru yang memotong banyak bukan saja rentang jarak fisik, tapi juga jarak waktu: telepon, internet. Berkat media yang lebih modern ini kita bisa berkomunikasi jarak jauh dengan orang lain dengan seketika, tak perlu hingga berhari-hari menunggu jasa kurir atau jawatan pos selesai bekerja.
Bahkan bisa juga media itu menampilkan gambar kita dan orang yang kita hubungi seperti kita tengah bercakap-cakap secara langsung layaknya.
Ada satu aspek menarik di sana yang pernah saya alami. Dan ini saya kira pernah anda alami juga. Pada satu waktu saya dikagetkan oleh jawaban "aneh" lewat sandek (pesan pendek, SMS) seorang kerabat di lain kota.
Ia menanyakan kabar saya. Saya jawab, kabar saya baik-baik saja dan bahwa minggu depan saya dan keluarga punya rencana main ke kotanya. Lalu ia membalas, "Wah, senang mendengar kabar ini."
Tengoklah. Apa yang aneh? Dia bilang mendengar, padahal dia membaca. Tulisan dianggap dapat berkata-kata!
Kasus serupa kadang kita jumpai juga dalam artikel di media cetak atau makalah yang disajikan dalam sebuah acara bincang-bincang, entah seminar, diskusi panel, simposium atau lokakarya: "Tadi saya katakan", "Sudah saya katakan sebelumnya", "Seperti dikatakan di atas".
Apakah ini bisa kita sebut tradisi lisan yang merembes ke dalam tulisan?
No comments:
Post a Comment