Friday, December 29, 2017

Kisah Melodius Pelopor Sirkus

Edisi 29-12-2017

Kisah Melodius Pelopor Sirkus


JANGAN berharap mendapatkan cerita sejarah yang jernih tentang sosok PT Barnum, pemilik perusahaan sirkus keliling terkenal Barnum & Bailey Circus.

Berharaplah mendengar lagu-lagu melodius, maka Anda tak akan kecewa saat menonton film ini.PTBarnum adalah sosok penting dalam sejarah pertunjukan massal di Amerika Serikat pada era 1850-an. Sosoknya cukup kontroversial karena terkenal berkat "menjual" benda palsu dan dianggap mengeksploitasi orang-orang "aneh" (manusia cebol, kembar dempet, manusia berbulu) dalam pertunjukannya demi mengeruk keuntungan.

Media massa menyebutnya penipu yang menyajikan pertunjukan murahan. Namun, di sisi lain, Barnum sangat lihai memanfaatkan publikasi demi perusahaannya, juga memberi pekerjaan kepada golongan orang-orang "aneh" yang kerap dipandang sebelah mata oleh masyarakat umum.

Dia juga seorang filantropis. Tapi sayangnya, kerumitan sosoknya ini direduksi dalam The Greatest Showman . Barnum (Hugh Jackman) tumbuh dari keluarga sederhana, cenderung miskin. Ayahnya bekerja sebagai pembantu dan penjahit di keluarga kaya.

Setelah sang ayah meninggal, Barnum yang ambisius bekerja serabutan, hingga akhirnya dia punya cukup penghasilan untuk nekat melamar Charity (Michelle Williams), anak gadis dari keluarga kaya tempat ayahnya dulu bekerja. Meski Charity tak menuntut apa pun, Barnum menjanjikannya kehidupan yang setara dan sekaya seperti saat dia masih tinggal bersama ayahnya.

Dengan ide-ide liar dan keberanian mengambil risiko, Barnum lalu membohongi bank demi mendapat pinjaman uang. Dengan uang tersebut, dia membeli museum dan mulai membangun kerajaan sirkusnya. Dalam penggambaran proses perjalanan bisnis Barnum inilah, skenario banyak abai pada sejarah.

Memang, berharap sebuah film setia sepenuhnya pada catatan sejarah adalah hal yang nyaris mustahil. Namun, saat skenario melupakan detail dan mereduksi peran penting orang-orang di sekeliling Barnum, maka sulit untuk mendapat gambaran utuh tentang tokoh utama ini. Misalnya saja stigma penipu pada Barnum yang selalu muncul dalam film, tapi tak pernah jelas benar bentuk penipuan yang dilakukannya.

Dalam kisah aslinya, cap itu muncul salah satunya karena Barnum memamerkan sesosok makhluk berkepala monyet dan bertubuh ikan yang disebut Feejee Mermaid. Makhluk ini adalah makhluk buatan orang alias palsu, tapi dalam film tak sedikit pun sosok mermaid ini disebut.

Karakter manusia kerdil Charles Stratton alias General Tom Thumb (Sam Humphrey) yang sangat berperan dalam kesuksesan Barnum juga tak mendapat porsi menonjol di sini. Begitu juga karakterkarakter lain dalam kelompok orang "aneh".

Mereka tampil hanya sebagai pelengkap, padahal jika hubungan mereka dengan Barnum dieksplorasi, ada banyak dimensi lain dari sosok Barnum yang bisa didalami. Skenario juga seolah ingin selalu membuat Barnum sebagai protagonis yang sempurna.

Selain dengan menghilangkan detail pameran benda palsu, juga pada pengaburan fakta soal hubungan kerja samanya dengan penyanyi Swedia Jenny Lind (Rebecca Ferguson). Dalam film digambarkan seolah-olah keduanya punya perasaan cinta, namun Barnum memilih setia pada istrinya, membuat Jenny akhirnya memutuskan kerja sama di tengah-tengah turnya yang dikelola Barnum.

Padahal, dalam kisah aslinya, Jenny memutuskan hubungan kerja karena merasa Barnum terlalu serakah mengeruk keuntungan dari penjualan tiket. Saat Charity marahmarah karena merasa Barnum terlalu bernafsu mengumpulkan kekayaan, penonton bisa bingung karena sepanjang film tak melihat informasi tersebut tergambar di layar.

Dengan kelemahan skenario ini, untungnya film diselamatkan oleh kurang lebih 10 lagu yang dinyanyikan dengan ciamik oleh tiap karakter. Lagu-lagu yang diciptakan Benj Pasek dan Justin Paul, yang juga mencipta lagu-lagu untuk film La La Land, semuanya melodius, mudah dicerna dan enak dinikmati hanya dalam sekali dengar.

Ditambah koreografi apik untuk seluruh lagu, penampilan musikal dalam film ini benar-benar jadi bagian yang menghibur. Kelemahan cerita makin tertutupi karena porsi lagu dalam film ini justru jauh lebih banyak dibandingkan dialognya.

Jadi, jika ingin menonton The Greatest Showman , datang lah untuk mendengar lagu-lagunya, bukan untuk menyimak ceritanya. Lagi pula ini me mang film tentang "showman", bukan tentang "storytelling".

herita endriana

Let's block ads! (Why?)



No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...