Tuesday, October 10, 2017

Intelek “Bodong”

Dunia pendidikan nasional tak pernah lepas dari praktik-praktik tidak terpuji. Ini harus menjadi keprihatinan serius. Sebab, pendidikan adalah modal dasar paling fundamental. Jika pendidikan atau gelar diperoleh secara tidak jujur seperti melakukan plagiat, mencontek, dan mencontoh karya orang untuk dijadikan sebagai buah kerja sendiri, sangat berbahaya.

Mental dan karakter dimulai dari dalam ruang belajar. Jika di dalam pendidikan tidak ada kejujuran, jangan harap lulusan akan jujur dalam bekerja. Lulusan yang mencontek bila menjadi pejabat pasti tidak jujur. Pendidikan adalah gambaran dasar bagi masa depan seseorang. Kalau memperoleh ijazah secara tidak sah, pasti di dalam langkah karya di masyarakat atau pemerintahan juga akan begitu.

Untuk itu, dunia pendidikan nasional sekarang sungguh di titik nadir keprihatinan. Beberapa waktu lalu, Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Prof Djaali, dicopot karena diduga membantu praktik plagiarisme. Salah satu yang disebut dibantu memplagiat adalah mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, untuk memperoleh gelar doktor.

Sejalan dengan praktik plagiatnya, Nur Alam akhirnya juga ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Ini menjadi salah satu bukti pernyataan-pernyataan di atas di mana ketika ijazahnya diperoleh secara ilegal, karya di masyarakat juga bakal tidak jujur dan Nur Alam terbukti tidak jujur menjadi gubernur, makanya ditangkap KPK.

Masih terkait pejabat Provinsi Sulawesi Tenggara, Djaali juga diduga terlibat plagiarisme pembuatan disertasi pegawai-pegawai asal Sultra yang menjadi mahasiswa doktoral di UNJ. Djaali mengeluarkan sejumlah kebijakan yang melanggar peraturan Menristekdikti pengganti Peraturan Mendiknas No 17/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi.

Menristek Dikti, M Nasir, mengakui terjadi plagiarisme yang cukup tinggi sejumlah disertasi di UNJ. Padahal, rektor sebagai pemimpin tertinggi akademik di universitas harus bisa mencegah plagiarisme.

Pukulan dunia pendidikan nasional dilakukan Dwi Hartanto. Ini lebih aneh lagi kasusnya yang berawal pada akhir tahun 2016 saat sekitar 40 peneliti diaspora datang ke acara Visiting World Class Professor yang diselenggarakan Kemenristek Dikti bekerja sama Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional. Dwi menjadi salah satu peserta. Banyak bualannya disampaikan dalam acara tersebut.

Banyak omongan intelektualnya yang sangat tinggi. Namun akhirnya diakui sendiri bahwa semuanya tidak benar. Salah satunya dia mengaku hanya lulusan S-1 Institut Sains dan Teknologi Aprindo Yogyakarta, Fakultas Teknologi Industri, Program Teknik Informatika. Dia bukan lulusan Tokyo Institute of Technology.

Dwi Hartanto, mahasiswa doktoral di Technische Universiteit Delft Belanda, mengaku melebih-lebihkan informasi pribadi, kompetensi, dan prestasinya selama di Belanda. Kedutaan Besar Republik Indonesia di Belanda sempat memberi penghargaan kepada Dwi karena bualan prestasinya.

Penghargaan akhirnya dicabut setelah ada investigasi berbagai klaim prestasi Dwi. Hasil investigasi itu mementahkan semua klaim pencapaian Dwi mulai dari faktas soal pertemuannya dengan BJ Habibie, latar belakang pendidikan hingga prestasi di bidang antariksa.

Setelah ketahuan baru mengaku dan minta maaf. Ini khas orang Indonesia, seperti Choel Mallarangeng yang mengaku kilaf sehingga korupsi. Kilaf karena ketahuan, kalau tidak ketahuan, ya diam saja dan tidak kilaf. Dwi pun mengaku kilaf. Orang-orang Indonesia ini aneh. Setiap kejahatannya terbongkar, mengaku kilaf.

Begitulah dunia pendidikan dicoreng kaum intelektual yang tidak pantas mengaku intelek. Orang intelek mestinya semakin tinggi moralitasnya. Setidaknya begitu ungkapan filsuf Prancis, Piaget. Orang Indonesia karena sekolahnya nyontek terus, plagiat melulu, tidak malu menjadi intelek "bodong".

Let's block ads! (Why?)



No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...