Jum'at, 21 Juli 2017 | 01:00 WIB
Suparman Marzuki
Mantan Ketua Komisi Yudisial
"Saya menggugat bukan karena percaya pada pengadilan, tapi terpaksa untuk memperjuangkan kebenaran yang dirampas. Kalau toh kandas, minimal saya telah membuktikan keraguan tentang pengadilan yang dikatakan koruptif." Itulah ungkapan ketidakpercayaan sebagian masyarakat terhadap pengadilan. Tentu banyak sebab, tetapi hulunya ada pada independensi dan imparsialitas hakim yang rapuh.
Kerapuhan bermula dari lemahnya integritas dan kompetensi hakim akibat seleksi yang tidak transparan, akuntabel, dan partisipatif. Yang terpilih akhirnya hakim tunamoral yang mudah mencampakkan martabatnya, menerima suap, bertemu pihak beperkara, gratifikasi, tidak disiplin, berperilaku buruk di masyarakat, dan menyembunyikan keberpihakannya dengan motif tertentu dalam putusan.
Berdasarkan data di Komisi Yudisial periode 2006–2015, ada 75 persen lebih laporan masyarakat mengenai putusan yang janggal. Kejanggalan itu beragam. Ada putusan kasasi kasus korupsi yang mempertimbangkan keterangan Si Polan, yang tidak ada di berita acara pemeriksaan dan tidak pernah pula dihadirkan di persidangan. Yang lain mempertimbangkan bukti yang tidak pernah diajukan sebagai barang bukti di persidangan. Ada juga putusan yang mempertimbangkan perbuatan terdakwa bukan tindak pidana sehingga harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum, tapi dalam amar putusan menyatakan terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan.
Rekomendasi Komisi atas putusan janggal tersebut hampir seluruhnya ditolak Mahkamah Agung de-ngan alasan independensi hakim. Alasan ini tentu aneh karena suatu perkara yang sudah diputus akan menjadi konsumsi publik yang bisa dibaca, diuji, dan dinilai masyarakat dan institusi negara yang diberi kewenangan untuk itu.
Yurisdiksi independensi hakim adalah saat hakim menjalankan kewenangannya dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Tidak di luar itu. Independensi pun bukan hak, melainkan kewajiban yang dibatasi oleh asas-asas umum beperkara yang baik oleh hukum, kode etik, hak-hak para pihak, komitmen moral, dan ketuhanan hakim.
Independensi bukan pula kekebalan, melainkan kebebasan dan kemandirian berpikir dan perasaan hakim terhadap subyek dan obyek perkara beserta elemen-elemen lain di luar dirinya sehingga dapat memeriksa, mengadili, dan memutus perkara berdasar hukum, fakta, dan nurani yang bersih. Etika dan hukum dibuat untuk menjaga dan mencegah reputasi mulia dan terhormat itu diselewengkan hakim dan menindaknya bila ada penyimpangan etik dan hukum tersebut. Atas dasar itu, tentu aneh bila hakim yang membuat putusan janggal dibiarkan tanpa pertanggungjawaban etika profesi dengan alasan independensi yang keliru.
Adapun imparsialitas adalah ketidakberpihakan, kenetralan, serta sikap tanpa bias dan prasangka dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Ini ditujukan untuk mencegah konflik kepentingan, keberpihakan, serta menjaga kehormatan dan kewibawaan pengadilan.
Pasal 17 ayat 5 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan tegas menyatakan bahwa seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara itu. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim juga menyatakan bahwa hakim harus tidak memihak dalam sikap, ucapan, perilaku, dan tindakan di dalam ataupun di luar sidang, baik terhadap subyek maupun obyek hukum perkara.
Kerapuhan imparsialitas acap kali dipertontonkan di pengadilan. Hakim Mahkamah Konstitusi yang pernah menjadi anggota DPR mengadili undang-undang yang pernah ia bahas dan sahkan saat di DPR. Hakim MK unsur Mahkamah Agung memeriksa, mengadili, dan memutus perkara permohonan MA. Tentu saja mereka tidak akan menjadi hakim yang baik dalam perkaranya sendiri (nemo judex idoneus in propria causa).
Kita patut terus belajar dari negara lain dalam menerapkan imparsialitas, seperti dalam kasus McGonnell vs United Kingdom di Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa. McGonnell mengajukan kasus ini karena permohonannya untuk membangun rumah di Pulau Guernsey ditolak pengadilan Inggris. Tapi pengadilan HAM Eropa membatalkan putusan pengadilan Inggris karena salah satu hakimnya, Graham Dorey, tidak imparsial karena sebelumnya menjadi anggota parlemen yang ikut membahas dan mengesahkan peraturan tata kota yang menjadi dasar keputusan pengadilan (Parulian 2008: 17).
Begitulah negara-negara maju membangun peradaban pengadilan melalui kehormatan dan kewibawaan hakim-hakimnya serta menegakkan independensi dan imparsialitas hakim. Mudah-mudahan seleksi calon hakim yang sudah mulai dilakukan dijalankan secara transparan, akuntabel, partisipatif, dan dapat menjaring hakim-hakim yang memiliki integritas dan kompetensi. Dengan demikian, akan ada alasan untuk optimistis terhadap masa depan pengadilan kita.
No comments:
Post a Comment