Seorang pria asal Kanada bernama Adam Maier-Clayton mengampanyekan hak untuk mati bagi para penderita gangguan mental. Semua berawal ketika negara tersebut mengesahkan sebuah undang-undang, Bill C-14, yang mengizinkan seseorang yang sakit keras dan tak bisa diselamatkan untuk mendapat bantuan medis agar bisa segera meninggal.
Undang-undang itu dinilai diskriminatif.
Seperti dilaporkan BBC, Clayton telah meninggal pada 13 April 2017 lalu di usia 27 tahun. Ia bunuh diri di sebuah motel karena merasa putus asa akan penyakit gangguan mental yang dialaminya sejak kecil dan menyiksanya selama bertahun-tahun. Menurut sang ayah, Clayton telah berulang kali masuk rumah sakit.
Pada 2016, ketika Bill C-14 disahkan dan CLayton masih hidup, ia merasa bahwa undang-undang itu diskriminatif, tidak konstitusional dan ambigu. Ia kemudian berkampanye di media agar pemerintah juga mengesahkan undang-undang lain.
Undang-undang yang diinginkan Clayton adalah yang memperbolehkan pasien gangguan mental untuk meninggal dengan bantuan medis, meski pasien tersebut tak sedang mengalami sakit fisik yang parah.
"Setiap warga negara Kanada layak mendapat hak ini, hak untuk mampu menghentikan rasa sakit yang kronis dan tak bisa disembuhkan," ujarnya kepada media Kanada. Setelah Clayton wafat, Graham Clayton, sang ayah, meneruskan kampanye tersebut.
Baca Juga: Ingat Bayi Ini? Kini Nasibnya Bergantung Pada Pengadilan Eropa
Bukan persoalan hitam dan putih.
Perdebatan pun terjadi. Pasalnya, tak sedikit pihak yang merasa persoalan hak untuk mengakhiri hidup dengan bantuan dokter adalah sesuatu yang sangat rumit dan butuh kehati-hatian dalam memutuskan. Graham Clayton sendiri meyakini apa yang diperjuangkan sang anak saat masih hidup patut dipertimbangkan.
Ia mengatakan anaknya takkan bunuh diri begitu saja bila apa yang ia rasakan tak menyiksa. Ia justru melihat bantuan medis untuk meninggal dibutuhkan agar pasien bisa mengakhiri rasa sakit dengan terhormat.
"Ketika kamu tahu bahwa kamu berada dalam situasi kritis dan ilmu pengetahuan belum bisa mengatasinya, seharusnya keputusan berada di tanganmu saat kamu merasa sudah tak sanggup. Jika kamu berniat, kamu seharusnya bisa meminta bantuan — bantuan untuk mengakhirinya," tegasnya.
Sedangkan beberapa lainnya meragukan pendapat itu. Salah seorang profesor medis berkata kepada BBC,"Jika kita menyediakan layanan kesehatan yang cukup untuk penderita gangguan mental, mayoritas akan sembuh karena hidup yang berkualitas."
Ia melanjutkan bahwa,"Ya, beberapa orang akan terus menderita. Ya, beberapa lainnya akan bunuh diri — tapi sejatinya kita tak pernah tahu siapa orang yang takkan sembuh. Ini sulit ditentukan." Aktivis pro-euthanasia atau suntik mati juga punya penilaian sendiri.
Mereka menggarisbawahi bahwa Mahkamah Agung Kanada tak pernah menyebutkan bahwa pasien gangguan penyakit mental tak boleh mendapat hak untuk mati dengan bantuan medis. "Apa yang mereka lihat adalah orangnya, dan level penderitaan yang mereka miliki, baik itu fisik, psikologis atau psikiatris," ujar salah satu aktivis.
Belgia, Belanda dan Swiss punya undang-undang itu.
Ada tiga negara Uni Eropa yang melegalkan hak untuk mati dengan bantuan medis kepada para penderita gangguan mental kronis. Ketiganya adalah Belgia, Belanda dan Swiss. Namun, seperti di Kanada, undang-undang itu juga menjadi kontroversi.
Pasalnya, sebuah studi pada 2016 menyebutkan bahwa 50 persen pasien ingin mengakhiri hidupnya karena merasa kesepian dan menolak menjalani perawatan yang mungkin bisa menyelamatkannya.
Profesor Paul S. Appelbaum berkata kepada The New York Times bahwa,"Kriteria di Belanda mewajibkan bahwa pasien harus memiliki penyakit yang tak bisa disembuhkan, dan studi tersebut menunjukkan bahwa rupanya mengevaluasi masing-masing elemen itu termasuk problematis."
Dari studi tersebut juga para dokter yang memikul beban utama sebagai yang bertanggungjawab atas hidup pasien meragukan apakah hak untuk mati dengan bantuan medis untuk pasien gangguan mental kronis adalah sebuah praktik yang benar dan bermoral.
Baca Juga: Penyakitnya Tak Bisa Disembuhkan, Nyawa Bayi Ini di Tangan Pengadilan
No comments:
Post a Comment