Keributan bermula saat sang majikan menegur peronda yang datang terlalu sore dan memukul kentongan. Warga yang ronda itu pun berkilah bahwa itulah kinerjanya yang sejak sore sudah bersiap mengamankan kampung membantu petugas perlindungan masyarakat (linmas).
"Aneh juga sih juragan kita... Ndadak mbengok-mbengok semua tidak boleh membantah. Sebab, dialah pemimpinnya." Begitu cerita Inem ke sahabat Kacung suatu hari di dapur rumah majikan. "Mestine ya jangan aneh-aneh, ingin dianggap mulia tapi lakunya tidak mulia," lanjut Inem.
Kacung pun menyaut, "Betul, Nem, jangan karena ingin meniru Raja Salman, seorang pemimpin yang disegani dan ditakuti. Semua menghormatinya."
Kacung pun bangkit mengambil kopi yang sudah selesai diseduh sabahatnya. "Justru dia disegani karena sikap dan perilakunya yang bijak dan tegas. Dang aga nahok-nahok gawoh, kheno ya Nem," kata Kacung.
"Betul itu, Bang. Seseorang jika ingin mulia ya hanya ada dua syaratnya," jawab Inem. "Yang pertama, jika ingin mulia di hadapan Gusti Pangeran, yo dinilai dari ibadahanya. Ingin mulia di hadapan sesama manusia, dinilai dari polahnya."
Kacung pun makin berapi-api menanggapi Inem. "Sama seperti para pemimpin kita ya... ingin mulia di hadapan warganya, tapi justru berlaku tidak pantas," kata Kacung. "Hanya dikritik sedikit, tumpak nahok-nahok," Kacung melanjutkan.
"Tapi, kadang anehnya, yang dikritik siapa, yang marah siapa. Banyak orang di sekelilingnya yang nesu-nesu, nek tuanne dibedo," ungkap Inem. "Akhire, ya justru pemimpinnya yang jelek di mata publik."
"Ya sudahlah, Bang, biar majikan saja yang seperti itu. Jangan pula Abang sebagai koordinator Linmas Kampung marah-marah juga," kata Inem menasihati Kacung sembari mengambil sapu untuk menyapu lantai ruang makan.
"Nah...nah...nah, kok malah menjalar ke saya, Nem. Adu mak demon lagi niku jama nyak," kata Kacung. "Makanya saya sekarang sering banyak istigfar, Nem, biar mak nutuk-nutuk nahok. Astaghfirullahulazim," tandas Kacung sembari menghela napasnya. n
No comments:
Post a Comment