Monday, March 20, 2017

Gara-Gara Pelajaran Mantra

PROKAL.CO, SEBAGIAN orang jika mendengar jurusan sastra pasti kalimat yang diucapkan adalah, oh, yang belajar tentang puisi dan cerpen, ya? Kebanyakan seperti itu. Walaupun bentuk kalimatnya berbeda, puisi atau cerpen tetap tidak tertinggal saat menanggapi pembahasan tentang sastra. Tidak masalah. Sebab, itu menjadi ciri khas pengenal jurusan sastra di mata masyarakat umum. Meskipun kenyataannya tidak hanya mempelajari itu saja.

Setelah menyelesaikan semester pertama, aku mulai paham tentang jurusan sastra. Jurusan ini tidak hanya mempelajari seputar puisi dan cerpen. Ruang pembahasannya sangat luas, bahkan mempelajari tentang budaya manusia, khususnya di Indonesia. Aku mengambil sastra Indonesia. Dua minggu yang lalu, dua sahabatku, mengalami kondisi jiwa dan pemikiran yang aneh. Pasalnya, kami menerima pelajaran tentang mantra di mata kuliah tradisi sastra nusantara. Tak ayal, sahabatku memiliki spekulasi yang aneh-aneh. Bayu membayangkan bahwa mantra berhubungan dengan kekuatan seperti dalam film-film dan Faisal menghubungkan dengan hal mistis. Sedangkan aku hanya diam saja karena tidak tahu dan memang tidak mau tahu.

Jadi kronologisnya seperti ini. Siang itu setelah salat Jumat, aku langsung berangkat ke kampus. Kampus kebanggaanku, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman dengan ikon kebanggaannya, mal SCP–hanya berdekatan saja—sebagai petunjuk bagi mahasiswa yang kuliah di Gunung Kelua. Itu jika tidak mengetahui di mana letak Fakultas Ilmu Budaya. Sesampainya di kampus, seperti biasa aku nongkrong bersama dua sahabatku di bawah gazebo sembari menunggu dosen datang. Dan waktu itu, aku yang memulai pembicaraan dengan menceritakan mimpi yang aku alami semalam.

"Eh gaes, semalam aku bermimpi kita itu belajar di sebuah tempat yang mirip dengan padepokan, lalu kita itu disuruh menulis kata-kata yang diucapkan oleh seorang kakek tua dan kata-katanya itu aku lupa. Pokoknya aneh dan asing di telingaku," kataku.

"Wah, jangan-jangan kamu mau dikasih ilmu itu, Gas," sahut Bayu. "Ya Gas, bisa jadi. Soalnya abah aku bilang kalau orang bermimpi didatangi kakek-kakek dan mengajarkan sesuatu, itu tandanya orang tersebut dikasih ilmu," timpal Faisal, mempertegas pendapat Bayu.

"Hah, kalian ini ngaco. Masih saja percaya yang begituan. Sudahlah, ayo kita masuk kelas, itu dosen datang," kataku.  Kemudian kami masuk kelas, sedangkan Faisal merangkul pundak Bayu membisikkan sesuatu yang mungkin berkaitan dengan mimpiku semalam.

Pelajaran dimulai dan suasana kelas menjadi lebih berbeda dari hari-hari sebelumnya. Sebab kali ini, dosen membahas tentang mantra. Dia menjelaskan, bahwa mantra ada kaitannya dengan sastra karena termasuk kategori puisi lama. Proses belajar-mengajar semakin khidmat. Entah pelajarannya sedikit sakral atau mungkin memang semuanya tertarik untuk memahami lebih detail tentang mantra. Aku pun mendengarkan dengan seksama dan sedikit menggeser posisi kursi supaya lebih nyaman.

Tiba-tiba Bayu membisikkan sesuatu di telingaku. "Eh Gas, mungkin mimpimu itu ada benarnya. Buktinya kita lagi diajarkan materi tentang mantra. Mantra itu termasuk ilmu juga, lho," ucapnya.

Karena telingaku sudah sedikit jengkel mendengar pendapat yang aneh-aneh dari Bayu, secara tidak sadar aku menyahutnya dengan sedikit berteriak. " Sembarangan!" Serentak teman-teman perhatiannya beralih kepadaku. Bahkan, dosen pun kaget.

"Bagas, kamu kenapa? Apanya yang sembarangan?" tanya dosen. Dengan sedikit malu, aku menjawab dengan alasan lain. "E anu, Pak. Tadi Bayu bertanya kepada saya apakah mantra boleh digunakan untuk bermain-main. Maka dari itu saya menjawabnya dengan sedikit berteriak. Mungkin karena mantra itu terlalu sakral ya, Pak. Jadi, saya menanggapinya sedikit terbawa arus," dalihku.

Teman-teman yang lain serta dosen hanya menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian, proses belajar-mengajar kembali seperti semula sampai jam menunjukkan pukul 15.30 Wita. Sebelum menutup perkuliahan, dosen memberikan tugas untuk mencari satu mantra dari suku kami masing-masing.

Karena jam kuliah tidak ada lagi, aku, Bayu, dan Faisal memutuskan untuk langsung pulang ke indekos. Indekos kami dekat dari kampus, yakni di Gang Bakti. Di tengah perjalanan, Bayu dan Faisal kembali mengajakku membahas sesuatu. Kali ini bukan masalah mimpiku, melainkan menghubungkan antara mantra dengan kata-kata yang biasa aku ucapkan ketika menghadapi sebuah masalah. "Eh Gas, aku kan nggak tahu mantra apa yang mau aku jadikan tugas nanti. Gimana kalau aku pakai mantramu saja, yang jer beo-beo itu. Aku lihat juga manjur juga, kok," ujar Bayu.

Padahal hari telah menjelang sore, tapi rasanya kepalaku masih saja merasa panas. "Heh, kamu ini Bay. Sudahlah, jangan membahas sesuatu yang absurd. Jer basuki mawa bea itu bukan mantra, tapi falsafah Jawa yang menjadi  motivasi hidupku. Jadi, tidak ada kaitannya dengan mantra. Sudahlah, jangan aneh-aneh," tegasku.

Di sisi lain, ternyata Faisal masih tetap mendukung Bayu. "Gimana ya, Gas. Bukannya aku mendukung Bayu. Tapi kenyataannya memang begitu. Buktinya waktu itu kamu bisa menang lomba baca puisi dan bisa memperbaiki motormu setelah baca mantra itu. Padahal kamu kan sebelumnya tidak ada bakat membaca puisi apa lagi servis motor. Bongkar motor saja baru itu," beber Faisal.

Kali ini kepalaku benar-benar telah mendidih dan rasanya ingin meledak mendengar gagasan aneh dari kedua sahabatku ini. "Kalau kami tidak percaya, ayo kita buktikan. Itu di depan ada mobil mogok yang didorong empat orang bapak-bapak dengan sopirnya yang masih mengemudi mengatur persneling dan kontaknya agar bisa hidup. Gimana kalau kita bantu," ujar Bayu.

Kebetulan di depan ada mobil pikap mogok yang sepertinya membutuhkan bantuan tenaga untuk mendorong mobil tersebut. Akhirnya, kami pun menawarkan diri untuk membantu. Dan ternyata, ada peningkatan tenaga sehingga kecepatan dorongan semakin bertambah. Namun hasilnya tetap nihil. Tiba-tiba Bayu berkata pada bapak-bapak dan sopirnya itu. "Oke, bapak-bapak sekalian. Sebenarnya tenaga kita sudah cukup. Akan tetapi, hasilnya masih saja nihil. Jadi, saya menawarkan bahwa kita bersama-sama membaca mantra penambah kekuatan supaya mobilnya bisa hidup," kata Bayu.

Benar-benar sudah kerasukan sahabatku ini. Tapi anehnya bapak-bapak dan sopirnya itu seperti terhipnotis. Mereka mengangguk. Entah, karena tertarik atau memang sudah pasrah, mereka menurut saja. Apapun caranya, yang penting mobilnya bisa hidup. Kemudian kami pun kembali mendorong sembari membaca jer basuki mawa bea berulang-ulang dengan penuh semangat. Tak disangka, akhirnya mesin mobil itu menyala. Bapak-bapak itu menyalami kami dan mengucapkan terima kasih atas bantuannya dan meminta kalimat falsafah Jawa itu untuk mereka catat. Dan bisa digunakan jika sewaktu-waktu mereka mengalami kendala.

Setelah bapak-bapak itu pergi, Bayu dan Faisal merangkulku sembari tersenyum-senyum. "Gimana, kamu akhirnya percaya? Kalau ternyata kata-katamu selama ini itu mantra," ujar Bayu. Aku masih saja diam. Namun seketika aku kembali sadar dan menjelaskan kepada mereka bahwa semua itu tidak benar.

 "Gaes, kalian tahu kenapa kita tadi berhasil? Sebenarnya bukan karena kalimat itu melainkan keyakinan dan harapan kita yang teguh disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh. Coba saja kalian membaca kalimat yang lain dengan keyakinan, harapan dan usaha seperti tadi hasilnya pun akan sama. Jer basuki mawa bea itu hanya falsafah Jawa yang aku jadikan motivasi hidupku bahwasanya untuk menggapai keberhasilan diperlukan usaha bukan sekedar kata-kata! Ayolah, kita berpikir lebih luas lagi!" kataku kepada kedua sahabatku. Kemudian mereka berdua terdiam dan memandang langit, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.(*)

Let's block ads! (Why?)



No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...