Friday, December 16, 2016

Aneh, Warga Jakarta Tolak Uang Rp 1 Miliar, Mengapa???

JAKARTA, NETRALNEWS.COM - Alhamdulillah, ternyata warga Jakarta pada rasional, meski diimingi Rp 1 miliar, mereka tetap pilih Ahok. Kebanyakan warga yang tahu program Rp 1 miliar per RW justru memilih Ahok. Ada yang salah kayaknya

Itu komentar Netizen di twitter Saidiman Ahmad dengan akun @saidiman. Sebutlah Netizen bernama 

Nong Darol Mahmada ‏@nongandah  menulis seperti ini:

Alhamdulillah ternyata warga jkt pd rasional,meski diimingi 1 milyar ttp pilih Ahok,baca tulisan @saidiman yg asyik

Lalu pemilik twitter pun merespons demikian:

Kebanyakan warga yang tahu program 1 M perRW justru memilih Ahok. Ada yang salah kayaknya.

Saidiman Ahmad juga mengatakan begini:

Dari yang tahu, kebanyakan tidak percaya bisa diwujudkan dan setuju ini bentuk politik uang.

Saidiman Ahmad pun menulis pertanyaan dan disertai foto pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI seperti ini:

Mengapa Program 1 Milyar Per-RW Ditolak? 

Nong Darol pun mempersilakan membaca ulasan Saidiman yang dimuat di sebuah online. Jika diklik nama online itu, maka muncullah tulisan yang dimaksud seperti berikut:

Mengapa Program 1 Milyar Per-RW Ditolak?

Salah satu program utama yang dikampanyekan secara massif oleh pasangan Agus-Sylvi pada Pilkada Jakarta kali ini adalah tentang rencana bagi-bagi uang negara 1 milyar untuk tiap RW tiap tahun. Rencana ini menjadi bahan perbincangan publik belakangan ini.

Pertanyaan yang muncul antara lain adalah apakah kebijakan cash transfer semacam itu akan membawa dampak perubahan perilaku pada publik penerima program? Kebijakan sosial model transfer langsung banyak dihindari terutama karena kebijakan semacam itu dinilai tidak mendidikan atau setidak-tidaknya tidak memiliki daya dorong pada perubahan perilaku.

Pertanyaan kedua adalah soal akuntabilitas. Apakah pihak penerima dana publik itu, dalam hal ini pengurus RW, cukup akuntabel untuk mengelola dana sebesar itu? Jika pengelola dana tidak cukup akuntabel, maka dana itu sangat mungkin tidak tepat sasaran atau malah tidak tersalurkan dengan baik. Potensi penyalahgunaan anggaran di tingkat RW juga besar terjadi.

Pertanyaan selanjutnya adalah soal boleh tidaknya janji pemberian sejumlah uang dilakukan dalam masa kampanye oleh seorang kandidat. Salah satu aspek politik uang adalah transaksi suara, di mana kandidat menjanjikan sejumlah manfaat langsung pada pemilih jika mereka menyalurkan suaranya pada si kandidat. Dalam hal ini, janji dana 1 M per RW per tahun potensial masuk dalam kategori politik uang. Dan yang lebih parah adalah politik uang di sini direncanakan menggunakan anggaran publik, yakni APBD.

Namun di luar dari perdebatan yang menarik itu, publik DKI sendiri perlu ditanya soal persepsi mereka mengenai janji kampanye AHY tersebut. Dalam survei terakhir yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI Saiful Mujani), ditemukan bahwa hanya 50 persen warga yang mengetahui janji kampanye kandidat nomor satu tersebut. Namun yang lebih menarik adalah bahwa dari 50 persen yang tahu, mayoritas (56 persen) di antara mereka tidak yakin janji itu akan dipenuhi.

Selain itu, sebanyak 52 persen dari mereka yang mengetahui program itu tahu atau pernah mendengar bahwa hal itu bisa dikategorikan sebagai praktik politik uang atau pelanggaran administrasi oleh Bawaslu. Dan 59 persen di antara mereka setuju dengan pandangan tersebut. Dan angka yang hampir mirip (56 persen) juga menyetujui inisiatif Bawaslu untuk melaporkan dugaan pelanggaran tersebut pada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta.

Program bagi-bagi uang negara ini sebetulnya dimaksudkan untuk menaikkan elektabilitas calon pengusungnya. Dengan kontroversi yang melingkupinya, program ini justru nampak tidak efektif menaikkan suara Agus. 

Berdasarkan hasil survei LSI, warga yang tahu atau pernah mendengar program tersebut justru lebih banyak menjatuhkan pilihan pada pasangan nomor dua (Ahok-Djarot), yakni 38,3 persen. Dukungan pada Agus dari kelompok yang tahu dan pernah mendengar program tersebut hanya sebesar 25,7 persen, hampir sama dengan perolehan Anies 22,5 persen. 

Sebaliknya, mereka yang tidak tahu program tersebut justru lebih banyak menjatuhkan pilihan pada Agus, 27,2 persen, sementara pada Ahok 25,3 persen, dan Anies 25,4 persen.

Dengan kata lain, alih-alih mendongkrak dukungan suara pengusungnya, program bagi-bagi uang negara itu justru memukul balik tuannya, yakni Agus Yudhoyono.

Kemungkinan penjelasannya adalah bahwa sebetulnya publik tidak setuju dengan program bagi-bagi uang negara secara langsung yang diterima oleh pengurus RW. Selain bahwa mayoritas warga tidak yakin program semacam itu bisa terlaksana, mereka nampaknya juga menaruh curiga pada tingkat akuntabilitas pengurus RW.

Selama ini warga sudah menikmati pelbagai program sosial dalam bentuk pelayanan kesehatan gratis, pendidikan gratis, beasiswa perguruan tinggi untuk mahasiswa miskin, transportasi publik murah, taman asri, RPTRA, sungai bersih, trotoar lebar, dan seterusnya. 

Warga Jakarta yang semakin rasional tentu bisa berhitung dampak pengurangan anggaran pada program-program sosial yang selama ini sudah dijalankan oleh pemerintahan Ahok-Djarot jika program bagi-bagi uang untuk RW itu dilaksanakan. Oleh: Saidiman Ahmad


Let's block ads! (Why?)



No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...