Berawal dari keprihatinan terhadap kebiasaan negatif anak-anak muda di lingkungan rumahnya, Rofiq Rofii menginisiasi terbentuknya kelompok perkusi. Kini, kelompok perkusi bentukannya sudah beranggotakan 40 orang.
LIZYA OKTAVIA KRISTANTI
DI TENGAH hawa dingin yang menyelimuti Dusun Areng-Areng, Kelurahan Dadaprejo, Kecamatan Junrejo, kemarin (9/12), ingatan Rofiq Roffi mengarah ke momen empat tahun silam, pada 2012.
Dulu, pemandangan anak-anak muda yang 'salah jalan' seakan sudah menjadi hal yang wajar. "Dulu anak-anak kecil di sini sering bakar-bakar dupa, mainan pecut (cambuk), minum-minum, dan lainnya. Kan itu serem," papar pemuda 27 tahun ini.
Rofiq menyatakan, kebiasaan negatif itu bisa muncul sebagai imbas dari tontonan yang salah. Anak-anak di bawah 17 tahun, cenderung belum mampu memfilter apa pun yang mereka lihat.
Prihatin melihat kondisi tersebut, Rofik pun beraksi. Dia mengajak dua rekannya, Yongki Rudi Hermawan dan Pujangga Abdillah untuk menginisiasi satu aktivitas baru.
Opsi yang muncul adalah perkusi. Kenapa harus perkusi? "Kami bertiga tidak punya background pemain perkusi. Tapi kami lihat, alat musik perkusi bisa lebih diminati anak-anak," ujar Malang 21 Juni 1989 ini.
Setelah menentukan pilihan, Rofiq dan rekan-rekannya bergerak untuk mengajak anak-anak juga pemuda dusun untuk bergabung dengan kelompok yang diberi nama Apel Ireng Percussion itu. "Meski begitu, awalnya cukup susah juga mengajak mereka," kata dia.
Sebesar apa pun tantangannya, Rofiq tidak menyerah. Bahkan, dia harus berutang hingga Rp 30 juta ke koperasi di Kelurahan Dadaprejo. Uang ini digunakan untuk membeli peralatan perkusi.
Peralatannya mulai dari gong, kendang, hinggga kentongan. "Buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB) dua motor saya katut buat jaminan," kenang Rofiq lalu tertawa.
Selama tiga tahun, Rofiq harus menyisihkan Rp 800 ribu tiap bulan untuk membayar cicilan, baik dari kantong pribadi maupun uang hasil manggung. "Gak papalah demi anak-anak kecil. Sekarang, utang saya sudah lunas kok," beber putra dari Slamet dan Rukmi ini.
Selain itu, Rofiq harus ikhlas membayar pelatih perkusi dengan uang pribadi. Dalam sekali latihan, perlu dana Rp 100 ribu untuk ongkos pelatih. "Tapi kini, kita sudah gak pakai pelatih. Awal-awal saja karena memang dari nol," terang suami Nusi Umala tersebut.
Buah kerja keras Rofiq baru muncul belakangan ini. Kini, sebanyak 40 orang yang sebagian besar anak-anak SD-SMP, menjadi anggota Apel Ireng Percussion. Kelompok itu sudah puluhan kali tampil di berbagai event.
Biasanya, uang hasil manggung akan Rofiq bagikan kepada para personel. "Mereka saya beri Rp 30 ribu, sudah senang. Kadang saya ajak renang juga," ungkap alumnus Universitas Muhammadiyah Malang tersebut.
Rofiq mengaku puas dengan hasil jerih payahnya ini. Sebab, dia sudah jarang melihat anak-anak kecil yang salah dalam bermain. "Kalau sekarang, sudah banyak berkurang kok," ucap bapak satu anak itu.
Ke depan, Rofiq berharap agar Apel Ireng Percussion lebih dikenal di Kota Wisata Batu. Sebagai satu-satunya kelompok perkusi lokal yang masih aktif, fia ingin mendapat perhatian lebih dari Pemerintah Kota Batu. "Ini loh Kota Batu punya perkusi lokal. Bisa diberdayakan dan dikembangkan. Masa harus ngundang perkusi dari kota lain. Padahal sama bagusnya kok," sesal alumni SMPN 3 Batu itu. (*/c4/muf)
No comments:
Post a Comment