Friday, August 5, 2016

Redam Aksi Terorisme dengan Dialog

Untuk mengatasi terus tumbuhnya jaringan terorisme di Indonesia, harus digencarkan dialog di tingkat lokal dan menyelesaikan masalah dendam di masyarakat.

JAKARTA – Sepanjang Suriah dan Iraq terus bergolak dengan problem kelompok radikal Islamic State Iraq and Syria/ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah), kasus terorisme di Indonesia tidak akan berhenti. Ada tiga langkah untuk meredam aksi terorisme, salah satunya dengan dialog.

"Untuk tingkat lokal, lakukan pencegahan dengan aktif melakukan dialog dan selesaikan masalah dendam dan lakukan penegakan hukum. Langkah tersebut harus dilakikam agar human right terjaga baik," kata Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dalam diskusi bertema Dialog dengan Kapolri, di Jakarta, Kamis (4/8).

Menurut Tito, di tingkat regional harus diwaspadai pergerakan ISIS untuk mengalihkan perhatian. Di Thailand sudah meledak vihara yang diduga dilakukan kelompok Uighur, di Kuala Lumpur, mereka sudah menyerang kafe, delapan orang jadi korban, penyerang diduga simpatisan ISIS.

Ketika ISIS di Suriah dan Iraq merasa ditekan, mereka berusaha mengalihkan perhatian, dan menginstruksikan jaringannya di luar negeri untuk bermain. Tito mencontohkan Inggris sudah kebobolan, Prancis sudah sering kebobolan dan di Indonesia juga sudah.

Serangan-serangan teroris di negara-negara barat itu dapat terjadi, karena mereka merasa ditekan oleh koalisi negara-negara barat. Karena itu, diplomasi antar negara harus dilakukan untuk mengantisipasi serangan ISIS.

"Big power harus duduk bersama, dan bagaimana dunia barat tidak kutak-katik Islam, karena sekarang sudah terideologi semua muslim bersaudara. Para terduga teroris yang ditangkap di Inggris dan tempat-tempat lain sudah berideologi yang sama. Karena itu perlu dilakukan diplomasi bersama bagaimana mengalahkan ISIS," kata Tito.

Unsur Dendam

Terkait dengan penuntasan kasus teroris di Poso, Kapolri mengakui kalau ada unsur dendam yang menjadi pemicu suburnya jaringan teroris di sana. Memang betul di Poso memang ada unsur dendam. Perjanjian Malino memang menghentikan konflik, tapi ada poin yang bertentangan, mungkin saja ahli hukum (yang mengkonsep) tidak sadar, akan implikasi. Di mana dalam poin dua, diatur tentang penghentian konflik dan kembali pada penegakan hukum.

Dalam poin tersebut, dimaknai oleh salah satu kelompok yang bertikai bahwa yang salah harus tetap dihukum. "Kita berhenti konflik, tapi yang salah harus dihukum, tapi oleh kelompok satunya, dimaknai bahwa dengan adanya perjanjian tersebut, sudah dianggap selesai, tutup buku," ujar Tito.

Padahal dari kelompok pertama itu, sudah banyak menderita karena korban banyak berasal dari kelompok pertama itu. Sehingga tidak aneh, meski sudah ada Perjanjian Malino tetap ada penyerangan-penyerangan yang dilakukan keluarga korban kelompok pertama.

Hal tersebut semakin diperparah dengan masuknya kelompok- kelompok garis keras yang membawa paham radikal. "Karena mereka membawa doktrin radikal, boleh membunuh, nyawa dibalas nyawa atau qisas. Di mana mereka percaya doktrin, balaslah lawanmu setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukan," kata Tito.

Berdasar kepercayaan doktrin itu maka tidak aneh ketika ada kasus pemenggalan tiga siswi sekolah di Poso, pelaku mengatakan, hanya membalas apa yang telah dilakukan lawannya. "Kelompok radikal yang datang dari Afghanistan dan Mindanao ini menganggap bahwa jihad itu sebagai Rukun Islam keenam bagi mereka. Apalagi mereka dalam kondisi sangat pede karena baru memukul mundur Uni Sovyet di Afghanistan," ujar Tito.

Karena menganggap jihad sebagai Rukun Islam keenam menimbulkan konsekwensi, mereka terus mencari tempat untuk menyalurkan jihad mereka. Sehingga tidak aneh mereka ke Suriah dan Iraq atau ke Ambon dan Poso untuk menyalurkan konsep jihadnya itu. Untuk mengantisipasi hal itu, konsep ketiga, adalah bagaimana menetralisir paham radikal itu.

Let's block ads! (Why?)



No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...