
SOLO (KRjogja.com) - Penolakan hukuman mati yang dilontarkan Presiden ke-3 Republik Indonesia (RI), BJ Habibie, melalui surat resmi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), dinilai aneh dan mengundang tanda tanya. Kenapa penolakan itu disampaikan setelah eksekusi hukuman mati terhadap nara pidana (napi) narkoba telah terlaksana hingga dua kali. Selain itu, pelaksanaan hukuman mati, merupakan perintah Undang-Undang (UU) yang sah sebagai bagian dari kedaulatan hukum negara RI.
Jika memang Habibie sejak lama tidak setuju dengan hukuman mati, ungkap tokoh aktivis Solo, Hasan Mulachela, logikanya penolakan itu diperjuangkan jauh sebelum pelaksanaan hukuman mati gelombang pertama terhadap napi narkoba.
"Atau bahkan menghapus hukuman mati saat yang bersangkutan menjadi orang nomor satu di Indonesia," tegasnya saat melakukan aksi tunggal mendukung hukuman mati terhadap pelaku kejahatan narkoba, di Bunderan Gladag, Sabtu (30/7/2016).
Dalam aksinya, Hasan Mulachela mengelilingi patung Slamet Riyadi dengan pose mengacungkan pistol di kawasan Bunderan Gladag, sembari membawa poster bertuliskan kalimat 'Dukung Pak Jokowi terapkan hukuman mati'. Selama berjalan mengelilingi patung, tanpa henti dia berorasi seorang diri yang pada dasarnya mendukung hukuman mati sebagai upaya melindungi segenap warga negara Indonesia dari ancaman kejahatan narkoba yang semakin mengganas dan melibatkan jaringan internasional.
Mantan anggota DPRD Solo selama dua periode yang kini banyak berkiprah di lingkaran perpolitikan di Jakarta tersebut juga menengarai, ada latar belakang tertentu di balik penolakan hukuman mati. Pelaksanaan eksekusi mati terhadap napi narkoba, menurutnya, telah melalui seluruh proses hukum yang berlaku di bumi Indonesia. Kalaupun napi narkoba yang harus berhadapan dengan regu tembak beberapa diantaranya warga negara asing, harus patuh terhadap hukum yang berlaku di Indonesia tanpa intervensi dari pihak manapun. (Hut)
No comments:
Post a Comment