
Edisi 09-07-2016
Setelah 17 Tahun
Tweet
Meskipun demikian, aku pernah juga mengalami masa pacaran. Aku pacaran pertama kali sewaktu di SMA. Pacarku anak orang bule asal Inggris. Rumah kami di Gunungtua dekat dengan perkebunan teh dan karet, tempat banyak orang asing bekerja di perusahaan perkebunan yang dulunya bernama P & T Lands.
Mereka biasanya tinggal di kompleks ekspatriat, dan anak-anaknya sekolah di international school di Kota D. Aku senang pacaran dengan orang Inggris, karena aku bisa belajar Bahasa Inggris secara gratis. Aku berpacaran cukup lama. Namun hubungan kami terputus, karena kedua orangtua pacarku kembali ke London, dan kami merasa lelah berhubungan cinta jarak jauh.
Tahu aku berpacaran dengan orang Inggris yang cukup ganteng, saudarasaudaraku justru semakin menghinaku. "Terang saja kamu disenangi orang bule. Mereka kan maunya punya pacar atau istri yang berpenampilan seperti pembantu. Seperti kamu: hitam, jelek, dan kumuh!" kata Celine, kakak perempuanku. Aku tak bisa membantah hinaan itu. Aku tahu dan sering melihat sendiri, orang-orang bule seleranya memang kebanyakan seperti itu.
Dan, setiap kali aku berkaca, penampilanku pun persis seperti yang dituduhkan kakak perempuanku itu: hitam, jelek, dan kumuh. Aku memang jarang mandi. Karena untuk apa aku mandi, toh sesudah mandi, kendati pakai sabun terwangi pun, aku tetap merasa jelek, kumuh, dan bau! Hal itulah yang membuat aku semakin membenci keadaanku.
Bahkan bila pada malam Minggu ada lelaki yang dandanannya aneh kebetulan lewat di depan rumah, saudara-saudaraku selalu saja punya alasan atau ilham untuk menghinaku. "Tuh, Put! orang di jalan itu lagi mencari kamu...!" Mereka berkata bersamaan, diakhiri suara tawa panjang yang sangat menyakitkan.
Sebaliknya, aku pernah punya teman perempuan yang badannya besar dan menurutku berparas jelek. Jauh lebih buruk rupa dibanding aku. Kebetulan, dia anak tunggal. Anehnya, bertolak belakang dengan diriku, kawanku itu justru merasa dirinya perempuan paling cantik sedunia dan sangat lebay.
Karena perilakunya yang aneh, itu aku berusaha mencari tahu mengapa kawanku itu bisa bersikap dan berkelakuan seperti itu. Ternyata, itu karena ayahnya, selalu memanggilnya "Cantik" dan "Putri Papa." Sementara aku selalu dijelek-jelekkan di dalam keluarga, sehingga aku merasa menjadi makhluk paling jelek sedunia, dan tidak punya kepercayaan diri sama sekali.
Di SMA, nilai-nilaiku sangat baik. Dengan demikian, aku dapat diterima masuk di Universitas Persada, di Kota D, tanpa kesulitan. Mungkin saat itu Ayah berpikir, aku satu-satunya anak yang tidak pernah menyusahkan orangtua. Sementara saudara-saudaraku, untuk bisa masuk sekolah saja harus selalu dibantu. Apalagi Ayah dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Persada.
Semua saudaraku harus dibantu agar diterima di sekolah atau di perguruan tinggi yang mereka pilih. Sesuatu yang berbeda sekali dariku. Tak aneh bila Ayah kemudian, sangat menyayangiku. Hubungan aku dan Ayah semakin dekat. Aku bisa dekat dengan Ayah karena kami selalu menilai dan menimbang segala sesuatu secara logis.
Dan, ternyata, aku lebih suka dan lebih banyak bergaul dengan lelaki, bukan dengan teman-teman perempuan, karena cara berpikir lelaki lebih logis. Karena itulah, aku bisa bercerita tentang apa saja kepada Ayah. Aku sering menjadi mitranya dalam berdiskusi atau berbincang tentang segala hal yang menarik minat kami berdua. Termasuk politik dan filsafat, dan pemikiran para tokoh politik dan filsafat.
Perhatian dan kedekatan Ayah denganku, tentu saja semakin meningkatkan kebencian saudarasaudaraku dan ketidaksukaan Ibu kepadaku. Mereka semakin cemburu. Bahkan, kecemburuan mereka menurutku sudah sampai pada tahap di luar logika dan akal sehat. Begitu aku memiliki peluang untuk bisa keluar dari rumah, aku pun segera memanfaatkannya.
Aku memang ingin dan harus keluar secepatnya dari neraka itu. Apa pun alasannya. Termasuk, bila untuk memperoleh dan menebus kebebasanku, itu aku harus menikah pada usia muda. Kendati lebih banyak memiliki kawan lelaki, sesungguhnya ada juga satu- dua teman perempuanku.
Tetapi, menurutku, perempuan terlalu lebay, karena gemar membahas hal-hal sepele dan remeh-temeh. Sementara aku lebih menyukai petualangan ekstrem, mendaki gunung, panjat tebing, masuk gua, menyeberangi sungai, arung jeram, bahkan survival tiga hari tanpa berganti pakaian.
Begitulah kegiatan rutinku setiap akhir pekan. Bila ada libur sekolah atau libur kuliah selama seminggu, maka selama seminggu itu pula aku tidak pernah ada di rumah. Aku sering naik kereta api hingga ke suatu lokasi perkemahan. Pelbagai kegiatan di alam terbuka membuat kulitku makin hitam dan penampilanku tambah jelek. Aku baru sadar ternyata aku terkenal sebagai perempuan yang tidak pernah mandi.
Setiap kali pergi sekolah, aku memang tidak pernah mandi. Sekarang aku baru menyadari, kenapa dulu aku selalu dibilang jelek: hitam, berdaki, dan segala macam. Aku bisa menjadi lebih putih dan lebih bersih, setelah aku mulai lebih sering mengenal air ketika hidup dan tinggal di Kota B. Alhamdulillah, kelakuanku ketika kecil lebih banyak menuju arah yang positif.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment