Foto: (dokumentasi pribadi) Menurut Adnan Buyung Nasution, ide pembentukan lembaga praperadilan berasal dari hak habeas corpus dalam sistem hukum Anglo Saxon yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia
Apakah penetapan praperadilan yang menyatakan suatu penyidikan tidak sah merupakan akhir dari proses penanganan suatu tindak pidana? Apakah penyidik dapat melakukan Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali atau mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan baru?
Putusan praperadilan pada dasarnya tidak dapat dimintakan banding, kecuali atas putusan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan. Pasal 83 ayat (1) berbunyi "Terhadap putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 79, pasal 80 dan pasal 81 tidak dapat dimintakan banding".
Sedangkan pasal 83 ayat (2) berbunyi: terhadap putusan yang menetapkan "sahnya" penghentian penyidikan atau penuntutan "tidak dapat" diajukan permintaan banding; terhadap putusan yang menetapkan "tidak sahnya" penghentian penyidikan atau penuntutan "dapat" diajukan permintaan banding.
Pengadilan Tinggi (PT) yang memeriksa dan memutus permintaan banding tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, bertindak sebagai pengadilan yang memeriksa dan memutus "dalam tingkat akhir".
Kasasi terhadap penetapan Praperadilan berdasarkan pasal 45 A Undang-Undang Mahkamah Agung (terakhir diperbarui dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009), juga melarang kasasi untuk praperadilan. Sedangkan upaya Peninjauan Kembali bagi praperadilan juga telah dilarang oleh MA berdasarkan Peraturan MA (Perma) No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur (25/4-2016) menerangkan bahwa pemeriksaan praperadilan adalah menyangkut formalitas keabsahan prosedur yang cukup diselesaikan di pengadilan tingkat pertama. Pendapat senada juga tercantum dalam pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menyebutkan bahwa putusan praperadilan yang menetapkan suatu penyidikan tidak sah tidak berarti tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana yang terjadi.
Dengan kata lain, praperadilan sebenarnya merupakan forum perbaikan terhadap proses penyidikan yang dilakukan aparat penegak hukum untuk dapat menghormati hak asasi manusia dan putusan praperadilan bukan akhir perjuangan penyidik untuk membuktikan terjadinya suatu peristiwa pidana. Adapun hal yang mendasari perlunya mekanisme seperti praperadilan menurut Paul Roberts dan Adrian Zuckerman, adalah:
Pertama, rights protection by the state. Upaya dari aparat penegak hukum yang dilakukan terkadang dapat melanggar hak asasi calon tersangka atau tersangka. Dalam rangka mengembalikan hak yang sudah dilanggar maka diperlukan suatu mekanisme pengujian perolehan alat bukti apakah sudah diambil secara sah.
Kedua, deterrence (disciplining the police). Pengesampingan atau pengecualian alat bukti yang diambil atau diperoleh secara tidak sah, akan mencegah/ menghalangi para penegak hukum mengulangi kembali kesalahan mereka di masa mendatang.
Ketiga, the legitimacy of the verdict. Dalam proses acara pidana diperlukan suatu sistem yang dapat dipercaya sehingga masyarakat yakin terhadap sistem hukum atau sistem peradilannya.
Namun oleh karena hukum acara praperadilan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, sehingga para kaum legalistik melakukan penafsiran sendiri dan berakibat pada putusan yang menimbulkan polemik.
Setidaknya baru-baru ini tercatat dua putusan praperadilan di PN Surabaya yang menimbulkan polemik yakni Nomor 11/PRAPER/ 2016/ PN.SBY dan Nomor 19/PRA.PER/2016/PN.SBY terkait kasus dugaan korupsi dana hibah Kadin dengan tersangka La Nyalla Mattaliti.
Dalam putusan Nomor 11/PRAPER/ 2016/ PN.SBY. hakim tunggal pra peradilan dalam salah satu pertimbangannya menyatakan:
"…… penyidikan untuk kedua kalinya atas dana hibah Pemerintah Provinsi Jawa Timur kepada Kadin tersebut haruslah dinyatakan sebagai perkara nebis in idem maka penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan Termohon tersebut haruslah dinyatakan tidak sah dan melanggar hukum".
Sedangkan putusan hakim tunggal pra peradilan dalam perkara Nomor 19/PRA.PER/2016/PN.SBY dalam salah satu pertimbangannya menyatakan:
…….hakim praperadilan berpendapat bahwa proses dan prosedur Penyidikan dan penetapan tersangka terhadap pemohon disamping tidak sah formal juga secara materiel merupakan pengulangan fakta-fakta terdahulu yang telah dipertanggung jawabkan oleh terpidana: Diar Kusuma Putra dan terpidana Dr Ir Nelson Sembiring MEng -atau penyelidikan dan penyidikan yang kedua kalinya atas dana hibah pemerintah daerah Jawa- Timur pada Kadin Jawa Timur adalah tidak relevan dan tidak mungkin lagi untuk dibuka kembali sehingga penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan termohon dalam perkara aquo harus dinyatakan tidak sah dan melanggar Hukum".
Kedua putusan praperadilan tersebut, yang menyebutkan adanya perkara "ne bis in idem dan tidak mungkin untuk dibuka kembali" jelas menggambarkan bahwa hakim tunggal pada dua putusan tersebut telah salah mengintepretasikan makna praperadilan sehingga putusan merupakan putusan "Aneh tapi Nyata".
Sebagai perbandingan mekanisme praperadilan, di Amerika Serikat ada Pre Trial Motion, di Hong Kong ada Committal Proceeding, di Belanda ada Hakim Komisaris (Hakim Pemeriksa Pendahuluan), di Prancis ada le Juge de la Liberté et de la Détention. Kesemua lembaga di atas tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa substansi perkara dan menetapkan suatu perkara ne bis in idem.
Akhir kata, dalam permasalahan ini sudah sepatutnya Mahkamah Agung untuk sementara menerbitkan PERMA yang mengatur batasan pemeriksaan praperadilan dan idealnya pemerintah segera membentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum acara praperadilan. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari kegaduhan hukum dan ketidak pastian proses penegakan hukum yang lebih parah di masa mendatang.
*) Dr. Reda Manthovani, SH,.LLM adalah Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Pancasila.
(nwk/nwk)
No comments:
Post a Comment